Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Foto: Anadolu
Washington: Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menepis kekhawatiran Ukraina terkait dikecualikannya negara itu dari pembicaraan damai dengan Rusia. Bahkan, dalam pernyataannya, Trump secara tidak langsung menyalahkan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky atas konflik yang telah berlangsung selama tiga tahun tersebut.
"Kamu seharusnya mengakhirinya setelah tiga tahun. Kamu seharusnya tidak pernah memulainya. Kamu bisa saja membuat kesepakatan," ujar Trump, menanggapi keluhan Ukraina tentang dikecualikannya mereka dari perundingan di Arab Saudi.
"Saya menyukainya secara pribadi. Dia baik. Tapi saya tidak peduli dengan hal pribadi. Saya peduli dengan menyelesaikan masalah ini. Sekarang ini, ada kepemimpinan yang membiarkan perang berlanjut padahal seharusnya tidak pernah terjadi, bahkan tanpa keterlibatan Amerika Serikat," tambah Trump, seperti dilansir dari The New Daily, Rabu 19 Februari 2025.
Pernyataan tersebut memperkuat pandangan bahwa Trump mengambil pendekatan berbeda terhadap konflik Rusia-Ukraina dibanding pendahulunya, Joe Biden, yang secara aktif mendukung Ukraina dengan bantuan militer besar-besaran untuk melawan invasi Rusia yang dimulai pada Februari 2022, delapan tahun setelah pencaplokan Krimea oleh Moskow pada 2014.
Trump dukung pengiriman pasukan perdamaian ke Ukraina
Sementara itu, negara-negara Eropa kembali membahas kemungkinan mengirim pasukan perdamaian ke Ukraina untuk memberikan jaminan keamanan jika tercapai kesepakatan damai. Menanggapi hal tersebut, Trump menyatakan bahwa ia tidak keberatan.
"Menempatkan pasukan di sana tidak masalah. Saya tidak akan menolaknya," kata Trump dalam pertemuan di klub pribadinya, Mar-a-Lago, Florida.
Komentar tersebut disampaikan hanya beberapa jam setelah delegasi AS mengadakan dialog awal dengan Rusia di Riyadh, Arab Saudi. Trump mengungkapkan optimismenya setelah pembicaraan tersebut dan menyatakan kemungkinan bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dalam waktu dekat.
"Rusia ingin melakukan sesuatu," ujar Trump, mengisyaratkan kesiapan Moskow untuk melanjutkan negosiasi lebih lanjut.
Trump juga mengecam kebijakan Biden terkait Ukraina, menuding bahwa langkah pemerintahan sebelumnya hanya memperpanjang perang.
"Saya yakin saya memiliki kekuatan untuk mengakhiri perang ini," tegas Trump.
Ukraina dan Eropa dikesampingkan
Pertemuan di Riyadh pada Selasa menjadi momen pertama sejak Perang Dunia II di mana pejabat tinggi AS dan Rusia bertemu secara langsung untuk membahas penghentian konflik di Eropa. Pembicaraan selama 4,5 jam itu dihadiri oleh Penasihat Keamanan Nasional AS Mike Waltz dan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov.
Waltz menegaskan bahwa perang harus diakhiri secara permanen, yang berarti negosiasi mengenai wilayah yang diduduki Rusia akan menjadi bagian dari diskusi.
"Kenyataan praktisnya adalah akan ada pembahasan tentang wilayah dan juga jaminan keamanan," ujar Waltz.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio mengungkapkan bahwa pembicaraan perdamaian juga mencakup rencana pemulihan hubungan diplomatik antara Washington dan Moskow untuk memfasilitasi negosiasi lebih lanjut.
Rubio menyatakan bahwa Rusia tampaknya bersedia terlibat dalam "proses serius," tetapi menekankan bahwa semua pihak harus siap melakukan kompromi. Ia juga mencoba meredakan kekhawatiran Ukraina dan negara-negara Eropa dengan mengatakan bahwa tidak ada pihak yang sengaja dikesampingkan dari proses ini.
Namun, Zelensky menolak gagasan bahwa Ukraina dapat menerima kesepakatan yang diputuskan tanpa kehadirannya. Dalam kunjungannya ke Turki, ia menegaskan bahwa "keputusan tentang bagaimana mengakhiri perang di Ukraina tidak bisa dibuat tanpa Ukraina, dan tidak boleh ada syarat yang dipaksakan kepada kami."
Sebagai bentuk protes, Zelensky dilaporkan menunda kunjungannya ke Arab Saudi yang sebelumnya dijadwalkan pada Rabu dan menggesernya ke bulan depan.
Di sisi lain, Lavrov menegaskan sikap keras Moskow terkait kemungkinan kehadiran pasukan NATO di Ukraina, dengan menyatakan bahwa "ini sepenuhnya tidak dapat diterima bagi kami, dalam bentuk apa pun."
Negosiasi perdamaian dan sanksi ekonomi
Pertemuan di Riyadh juga membahas kemungkinan pencabutan sanksi ekonomi terhadap Rusia. Lavrov menekankan adanya "minat besar" dalam mengakhiri hambatan ekonomi antara AS dan Rusia, yang diberlakukan setelah invasi ke Ukraina.
Rubio mengingatkan bahwa negara-negara Eropa juga memiliki peran dalam penerapan sanksi, sehingga pencabutannya memerlukan diskusi lebih lanjut dengan para pemimpin Eropa. Jika konflik berhasil diselesaikan, ia menyebut hal itu akan "membuka peluang kerja sama ekonomi yang unik dan bersejarah" antara AS dan Rusia.
Namun, pertemuan tersebut memicu kekhawatiran di Washington. Jake Auchincloss, anggota DPR AS dari Partai Demokrat dan salah satu pemimpin kaukus bipartisan Ukraina, menyebut bahwa Rusia telah "menang di babak pertama."
"Kremlin telah dinormalisasi dalam diplomasi bilateral yang mengecualikan Ukraina dan NATO, tanpa memberikan konsesi apa pun," kata Auchincloss.
Dengan jalannya negosiasi yang masih belum jelas, nasib Ukraina dalam perundingan ini semakin menjadi sorotan, terutama di tengah manuver Trump yang terus menekan Kyiv untuk menerima kompromi dalam proses perdamaian.
(Muhammad Reyhansyah)