Washington: Jelang pertemuan di Gedung Putih, Presiden
Amerika Serikat (AS)
Donald Trump mengungkapkan bahwa ia memiliki "banyak rasa hormat" terhadap Presiden Ukraina
Volodymyr Zelensky. Pernyataan ini menjadi sorotan karena sebelumnya Trump sempat menyalahkan Zelensky atas berlarutnya
perang dan menilai bahwa pemimpin
Ukraina itu seharusnya telah mencari kesepakatan damai lebih awal.
Dalam wawancara dengan
BBC, ketika ditanya apakah ia akan meminta maaf atas sebutan "diktator" yang pernah ia lontarkan terhadap Zelensky, Trump tampak terkejut dan berkata, "Apakah saya benar-benar mengatakan itu? Saya tidak percaya saya mengatakannya."
Pertemuan antara kedua pemimpin ini berlangsung di tengah ketegangan yang meningkat setelah pemerintahan Trump mengadakan dialog tingkat tinggi dengan Rusia, yang merupakan pembicaraan resmi pertama antara AS dan Moskow sejak invasi
Rusia ke Ukraina lebih dari tiga tahun lalu. Langkah tersebut mengejutkan sekutu-sekutu Barat, yang sebelumnya telah mendukung Ukraina secara penuh.
Trump menyatakan optimisme bahwa pembicaraan dengan Zelensky akan berjalan baik dan menyebut bahwa upaya mencapai perdamaian "berjalan cukup cepat". Namun, ketika ditanya apakah AS akan memberikan jaminan keamanan bagi Ukraina dalam kerangka kesepakatan damai, Trump hanya mengatakan bahwa ia "terbuka untuk banyak hal" dan menekankan bahwa prioritasnya adalah memastikan Rusia dan Ukraina mencapai kesepakatan terlebih dahulu.
Salah satu aspek penting dalam kunjungan Zelensky ke Washington adalah rencana penandatanganan kesepakatan yang memungkinkan perusahaan-perusahaan AS mengakses sumber daya mineral langka Ukraina. Trump mengklaim bahwa kehadiran perusahaan tambang AS di Ukraina dapat menjadi faktor pencegah bagi Rusia untuk melanjutkan agresinya.
"Ini bisa menjadi semacam benteng pertahanan. Saya tidak berpikir ada yang akan berani bermain-main jika kami hadir di sana dengan banyak pekerja dan proyek terkait mineral langka," ujar Trump, seperti dikutip
BBC, Jumat, 25 Februari 2025.
Sementara itu, Perdana Menteri Inggris Keir Starmer menyatakan kesiapan negaranya untuk mengirim pasukan ke Ukraina setelah perang berakhir, tetapi menegaskan bahwa langkah tersebut hanya akan dilakukan jika AS sebagai anggota utama NATO memberikan dukungan penuh.
"Kami siap menempatkan pasukan dan menerbangkan jet tempur untuk mendukung kesepakatan perdamaian," kata Starmer.
Saat ditanya apakah AS akan membantu pasukan Inggris jika mereka diserang oleh Rusia, Trump menegaskan keyakinannya terhadap kekuatan militer Inggris.
"Mereka memiliki tentara yang luar biasa, kekuatan militer yang luar biasa, dan mereka bisa menjaga diri mereka sendiri. Tapi jika mereka membutuhkan bantuan, saya akan selalu bersama Inggris, oke?" ujarnya.
Di sisi lain, NATO tetap berpegang pada prinsip Artikel 5, yang menyatakan bahwa serangan terhadap satu anggota dianggap sebagai serangan terhadap seluruh aliansi. Namun, belum ada kejelasan apakah AS akan terlibat langsung dalam operasi penjaga perdamaian pasca-konflik di Ukraina.
Sementara itu, Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Kaja Kallas, menegaskan bahwa Rusia tidak menginginkan perdamaian. Ia menyoroti pentingnya peran Eropa dalam setiap kesepakatan damai yang akan datang.
"Untuk setiap perjanjian damai agar berhasil, dukungan dari Eropa dan Ukraina mutlak diperlukan," kata Kallas.
Di sisi lain, Kremlin telah menegaskan bahwa tidak akan ada kompromi mengenai wilayah yang telah dianeksasi oleh Rusia, termasuk Crimea serta bagian dari Donetsk, Luhansk, Zaporizhzhia, dan Kherson. Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, mengatakan bahwa wilayah-wilayah tersebut adalah bagian dari Rusia secara permanen dan tidak dapat dinegosiasikan.
Di tengah dinamika diplomasi ini, perwakilan AS dan Rusia juga menggelar pertemuan di Istanbul, Turki, untuk membahas pemulihan hubungan diplomatik antara kedua negara. Dialog ini menjadi pertemuan bilateral tingkat tinggi pertama sejak kedua negara saling mengusir staf kedutaan mereka selama pemerintahan Joe Biden.
Dengan berbagai pernyataan dan langkah yang diambil, pertemuan Trump dan Zelensky di Gedung Putih menjadi momen penting yang akan menentukan arah kebijakan AS terhadap konflik Ukraina-Rusia serta posisi Washington dalam upaya mencari solusi damai yang berkelanjutan.
(Muhammad Reyhansyah)