Prabowo Subianto saat masih Menhan bertemu para Menhan negara-negara ASEAN, 2020. (Dok. Kementerian Pertahanan Indonesia)
Jakarta: Di tengah meningkatnya kekhawatiran akan melemahnya peran ASEAN dalam isu-isu kawasan seperti krisis Myanmar dan konflik Laut China Selatan, muncul urgensi bagi Indonesia untuk kembali mengambil posisi kepemimpinan yang kuat di dalam organisasi tersebut.
Mengutip tulisan Klaus Heinrich Raditio yang dipublikasikan oleh Lowy Institute pada Jumat, 31 Januari 2025, terdapat tiga alasan utama mengapa Indonesia harus kembali menjadi motor penggerak ASEAN.
1. Kekuatan Populasi dan Ekonomi yang Dominan
Indonesia adalah negara terbesar di Asia Tenggara baik dari sisi populasi, luas wilayah, maupun ekonomi. "
Populasinya menyumbang 41 persen dari total populasi ASEAN, sementara Produk Domestik Bruto (PDB)-nya mencakup hampir 40 persen dari total PDB kawasan," tulis Raditio.
Meskipun posisi ketua ASEAN bersifat bergilir, dominasi ini menjadikan Indonesia secara alami sebagai pemimpin regional.
2. Tradisi Kepemimpinan Diplomatik yang Kuat
Indonesia memiliki sejarah panjang sebagai mediator krisis kawasan melalui pendekatan diplomasi shuttle. Raditio menyoroti bahwa sejak menjadi salah satu pendiri ASEAN pada 1967, Indonesia telah memainkan peran sentral dalam penyelesaian konflik seperti perang Kamboja-Vietnam, konflik Moro di Filipina Selatan, hingga ketegangan Thailand-Kamboja.
"Indonesia telah menjadi tuan rumah dan sponsor Workshop on Managing Potential Conflict in the South China Sea sejak tahun 1990," jelasnya.
Upaya ini menghasilkan Deklarasi 2002 tentang Tata Perilaku Pihak-Pihak di Laut China Selatan yang mampu meredakan ketegangan saat itu.
Kepemimpinan Indonesia juga terlihat saat menjadi inisiator KTT Khusus ASEAN pada April 2021 di tengah krisis Myanmar. Pertemuan ini menghasilkan konsensus lima poin untuk menghentikan kekerasan dan memulai dialog konstruktif antar pihak.
3. Posisi Strategis dan Netralitas yang Unik
Berbeda dengan negara-negara ASEAN lainnya, Indonesia bukan pengklaim wilayah Laut China Selatan dan tidak memiliki perjanjian pertahanan atau kehadiran militer asing di wilayahnya.
"Indonesia tidak bergantung pada satu kekuatan besar sebagai investor utama," tulis Raditio. Netralitas ini menempatkan Indonesia sebagai aktor yang kredibel dalam memediasi konflik dan menjaga kohesi ASEAN.
Raditio menyebut bahwa Presiden Prabowo Subianto memiliki posisi strategis untuk menjangkau junta Myanmar, mengingat latar belakang militer yang sama.
"Prabowo bisa mendorong junta Myanmar untuk melaksanakan konsensus lima poin dan mendapat dukungan dari Laos, Kamboja, dan Vietnam," tulisnya.
Raditio juga menegaskan bahwa ASEAN harus tetap menjadi platform utama kebijakan luar negeri Indonesia. "Kepemimpinan di ASEAN adalah proses, bukan peristiwa," kutipnya dari mantan Menlu Marty Natalegawa. Dengan memimpin ASEAN secara aktif, Indonesia tidak hanya menjaga stabilitas kawasan, tetapi juga memperkuat posisi globalnya.
Kondisi geopolitik kawasan menuntut kepemimpinan aktif dan kredibel. Dengan modal populasi besar, kekuatan ekonomi, sejarah diplomasi yang kuat, serta posisi strategis yang netral, Indonesia memiliki legitimasi dan kapasitas untuk memimpin ASEAN keluar dari stagnasi.
Seperti diungkap Raditio, "Diplomasi shuttle harus dihidupkan kembali untuk menjamin implementasi nyata dari agenda-agenda ASEAN."