Mengenal Rata Pralaya Kereta Kencana Pengantar Raja-Raja Jawa ke Peristirahatan Terakhir

Kereta Rata Pralaya. Sumber: Instagram @juliloquist

Mengenal Rata Pralaya Kereta Kencana Pengantar Raja-Raja Jawa ke Peristirahatan Terakhir

Whisnu Mardiansyah • 3 November 2025 14:09

Yogyakarta: Kereta Rata Pralaya selama berabad-abad menjadi kendaraan terakhir, mengantarkan para penguasa Mataram dan bangsawan utamanya menuju peristirahatan abadi di Kompleks Makam Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Imogiri, situs pemakaman kuno dari abad ke-17, bukan sekadar gundukan tanah. Tempat itu adalah simbol terakhir kesinambungan dinasti Mataram Islam, pemersatu spiritual di tengah pecahan politik masa lalu. 

Nama “Rata Pralaya” menyimpan makna filosofis yang dalam. Istilah ini berasal dari Bahasa Sanskerta, rata berarti kereta, dan pralaya berarti kehancuran, pembubaran, atau akhir zaman. Secara harfiah, Rata Pralaya dapat dimaknai sebagai "kereta penuju peleburan terakhir", kendaraan yang membawa manusia dari kehidupan fana menuju kehidupan abadi.

Berdasarkan arsip dan catatan keraton, Rata Pralaya tidak lahir di era Mataram kuno, melainkan pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwono X (1893-1939) di Surakarta. Pakubuwono X dikenal sebagai raja yang sangat memperhatikan peneguhan budaya, seni, dan simbol-simbol kebesaran kerajaan. Ia memerintahkan pembuatan sejumlah kereta kebesaran untuk berbagai upacara, dengan Rata Pralaya dikhususkan untuk prosesi Grebeg Pralaya atau upacara kematian raja.
 

Simbolisme Mendalam di Balik Rupa dan Rangkaian

Secara visual, Rata Pralaya berwarna putih. Warna dasar putihnya yang mendominasi bukan pilihan estetika semata. Dalam budaya Jawa, putih melambangkan kesucian, kedamaian, dan transisi menuju alam spiritual. Hiasan ukiran motif lidah api serta garis-garis keemasan pada badan kereta menggambarkan semangat (semedi) yang tak pernah padam, metafora dari perjalanan abadi sang pribadi menuju Sang Pencipta.

Namun, simbol paling kuat justru terletak pada penariknya, delapan ekor kuda. Dalam filosofi Jawa, angka delapan (asta) merepresentasikan delapan penjuru mata angin dalam kosmologi Manunggaling Kawula Gusti. Delapan kuda ini melambangkan keseimbangan semesta, penjaga arah yang memastikan perjalanan sang raja dari dunia fana ke alam baka berlangsung lancar dan selaras dengan hukum alam.

Pemilihan kuda-kuda ini pun sangat ketat. Hanya kuda dari ras unggulan, biasanya berwarna putih atau cokelat keemasan, yang layak menjadi bagian dari prosesi. Mereka dirawat oleh abdi dalem khusus, diberi pakan terbaik, dan tidak pernah digunakan untuk keperluan duniawi lainnya, menjaga kesucian dan kesiapan mereka untuk tugas sakral.

“Delapan kuda itu simbol harmoni. Bagi keraton, kematian raja bukan akhir, tapi proses kembali ke alam kelanggengan,” tulis sejarawan keraton, R. Soedarmono, dalam naskah “Warisan Sakral Mataram” (1987).

Tata Cara Upacara: Dari Grebeg Pralaya hingga Ziarah ke Imogiri

Prosesi pemakaman raja (Grebeg Pralaya) adalah sebuah mahakarya tata upacara yang penuh makna. Rata Pralaya menjadi sentral dari ritual ini. Setelah jenazah raja dimandikan, dibalut kain mori, dan dimasukkan ke dalam peti berhias emas, peti tersebut kemudian ditempatkan dengan khidmat di atas kereta.

Iring-iringan pun bergerak perlahan. Gending gamelan yang mendayu dan lantunan doa-doa dalam Bahasa Jawa Kuno mengiringi setiap langkah kuda. Rakyat berjubah di sepanjang rute, menyampaikan penghormatan terakhir dengan menundukkan kepala, seringkali dengan linangan air mata, melepas keperalan pemimpin mereka.

Perjalanan berakhir di Pesanggrahan Giri Layu, di kaki Bukit Imogiri. Di sinilah tugas Rata Pralaya usai. Jenazah raja kemudian dipindahkan secara manual oleh para abdi dalem dan prajurit khusus untuk didaki menuju makam utama di lereng bukit. Kereta yang telah menyelesaikan misinya kembali ke Surakarta untuk melalui ritual jamasan (pembersihan) pusaka.

Keterkaitan Erat dengan Imogiri: Warisan Sultan Agung

Kisah Rata Pralaya tidak lengkap tanpa memahami makna Imogiri. Kompleks pemakaman ini dibangun atas perintah Sultan Agung Hanyakrakusuma, raja terbesar Mataram Islam, sekitar tahun 1632 Masehi. Imogiri (Himagiri) yang berarti "gunung salju" dalam Bahasa Sanskerta, dipilih sebagai tempat peristirahatan terakhir untuk menyatukan raja dengan leluhur dan alam spiritual.

Pasca Perjanjian Giyanti pada 1755 yang membagi Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, Imogiri tetap menjadi simbol pemersatu. Kedua kerajaan pecahan itu sama-sama memiliki hak dan kewajiban untuk memakamkan rajanya di bukit sakral tersebut. Rata Pralaya, dalam konteks ini, menjadi alat penegas legitimasi dan kesinambungan trah Mataram dari garis Surakarta.

“Kereta Rata Pralaya adalah jembatan antara dua dunia: dunia kerajaan dan dunia leluhur,” tulis budayawan Yogyakarta, KRT Suryohadiningrat.

Saat tidak bertugas, Rata Pralaya disimpan dengan penuh hormat di Museum Kereta Pusaka Keraton Surakarta. Kereta ini tidak dibiarkan lapuk dimakan waktu. Setiap tahun, menjelang bulan Sura (bulan Muharam dalam penanggalan Jawa), kereta menjalani upacara jamasan.

Jamasan bukan aktivitas pembersihan biasa. Ritual ini menggunakan air dari tujuh mata air yang dicampur bunga setaman, disiramkan secara ritualistik oleh abdi dalem senior. Prosesi ini bertujuan membersihkan tidak hanya kotoran fisik, tetapi juga energi-energi yang melekat, sekaligus menghidupkan kembali kesaktian pusaka. Berdasarkan catatan, Rata Pralaya terakhir kali digunakan untuk mengantar jenazah Sri Susuhunan Pakubuwono XII pada 2004.

Pada esensinya, Rata Pralaya adalah perwujudan filsafat Jawa tentang kematian dan kehancuran (pralaya) segala sesuatu yang bersifat duniawi. Kereta megah yang ditarik delapan kuda perkasa adalah simbol terakhir dari kewibawaan dan kekuasaan seorang raja. Keberangkatannya menuju Imogiri adalah pengingat bahwa segala jabatan, kemewahan, dan kewenangan pada akhirnya akan berakhir. Raja, yang dalam gelarnya disebut sebagai Hamengku Bawana (pemangku dunia), pada akhirnya harus mulih maring asal (kembali ke asal), bersatu kembali dengan tanah (bumi).

Kuda-kuda yang perkasa melambangkan nafsu dan tenaga duniawi yang menggerakkan kekuasaan. Ketika mereka menarik kereta dalam diam dan khidmat, itu melambangkan pelepasan dari segala nafsu keduniawian menuju ketenangan abadi. Rata Pralaya dengan demikian adalah simbol transisi sempurna, dari kesibukan dunia menuju keheningan spiritual.

Hingga hari ini, di tengah gempuran modernitas, Rata Pralaya tetap dijaga. Keraton Surakarta teguh mempertahankan tradisi ini, meski kendaraan bermotor dapat melakukan tugas yang lebih praktis. Keteguhan ini bukan sekadar soal melestarikan benda pusaka, melainkan tentang menjaga sebuah narasi, identitas, dan cara pandang dunia (weltanschauung) Jawa terhadap kehidupan dan kematian.

“Ketika Rata Pralaya melintas, seolah waktu berhenti sejenak. Kita diingatkan bahwa setiap pemimpin, sekuat apa pun, pada akhirnya pulang dengan kesederhanaan,” kata peneliti budaya, Heru Sumarno, dalam jurnal Sejarah dan Tradisi Jawa terbitan Universitas Sebelas Maret (2021).

Keberadaan Rata Pralaya adalah pengingat abadi tentang siklus alam, tentang kerendahan hati di puncak kekuasaan, dan tentang warisan budaya yang terus bernapas, menunggu saatnya untuk sekali lagi mengantar seorang raja dalam perjalanan terakhirnya yang paling agung.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(whis)