Ilustrasi sound horeg. Metrotvnews.com/Daviq Umar Al Faruq
Daviq Umar Al Faruq • 12 August 2025 09:20
Malang: Surat Edaran (SE) Bersama Gubernur Jawa Timur, Kapolda Jawa Timur, dan Pangdam V/Brawijaya terkait pembatasan penggunaan sound horeg menuai kritik. Sound horeg ialah sound system berukuran besar dan bertenaga tinggi, yang menghasilkan suara sangat keras dan bergetar.
Pengamat Kebijakan Publik Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Malang, Alie Zainal, menilai kebijakan tersebut belum mencerminkan kondisi nyata di lapangan dan tidak disusun berdasarkan data yang valid.
“SE ini bukan evidence based policy, atau kebijakan berdasarkan bukti. Karena kebijakan ini tidak menjadikan data atau fakta kejadian yang dialami masyarakat sebagai dasar pengambilan kebijakan,” ujar Alie, Selasa 12 Agustus 2025.
Alie mencontohkan, aturan batas volume dalam SE yang ditetapkan maksimal 120 desibel, jauh di atas ambang batas aman menurut para ahli yakni 80 desibel. Ia juga menilai sebagian poin dalam SE hanya mengulang peraturan yang sudah ada sebelumnya, seperti uji KIR kendaraan hingga larangan penggunaan narkoba, tanpa menawarkan kebijakan baru yang relevan dengan permasalahan.
“Kalau hanya untuk mengingatkan kembali, itu boleh-boleh saja. Tapi ini tidak efisien. Perlu kebijakan yang betul-betul menjawab permasalahan di lapangan,” tambah Alie.
Selain itu, Alie menekankan efektivitas SE bergantung pada pengawasan dan penindakan langsung aparat. Menurutnya, tindak lanjut berkelanjutan dari kepolisian dan pihak terkait sangat diperlukan agar kebijakan tidak hanya berhenti di atas kertas.
Baca: Aturan Sound Horeg di Jatim Terbit, Atur Batas Kebisingan Hingga Sanksi |