Krisis Air di Gaza saat Ramadan Makin Parah Akibat Blokade Israel

Warga Gaza kekurangan air di saat Ramadan akibat ulah Israel. Foto: Xinhua/Rizek Abdeljawad

Krisis Air di Gaza saat Ramadan Makin Parah Akibat Blokade Israel

Fajar Nugraha • 14 March 2025 14:00

Gaza: Setiap kali fajar menyingsing selama Ramadan, bulan suci bagi umat Muslim, Emad al-Hadad akan berdiri di sebuah trotoar yang telah hancur di Gaza, Palestina dengan tatapan tertuju ke ujung jalan.

Pria 43 tahun yang juga ayah dari tujuh anak itu tidak sedang menunggu kedatangan keluarga atau sahabat, namun sebuah kargo yang berharga, yakni truk tangki air yang akan melintas di jalanan rusak tersebut. Kedatangan truk itu tidak menentu seperti halnya aliran listrik di wilayah kantong yang terkepung tersebut.

"Mendapatkan air minum yang bersih menjadi perjuangan sehari-hari. Ini terutama terjadi karena kebutuhan air yang mendesak usai azan Magrib, saat warga berbuka puasa setelah berjam-jam tanpa (meminum) air," ujar al-Hadad kepada Xinhua.

Suaranya terdengar letih.

Seorang warga Palestina mengambil air di Kota Deir al-Balah di Jalur Gaza tengah pada 13 November 2024. (Xinhua/Marwan Dawood)



Krisis air itu, yang sebelumnya telah parah lantaran blokade bertahun-tahun, kini kian memburuk akibat perang Oktober 2023. Saat pasokan jaringan listrik di Gaza terputus, pabrik-pabrik desalinasi berhenti beroperasi. Padahal pabrik-pabrik tersebut memproduksi air tawar layak konsumsi atau irigasi bagi lebih dari 2 juta warga Gaza.

Setelah publik internasional menekan selama berbulan-bulan, Israel mengizinkan sedikit aliran listrik untuk disalurkan ke pabrik-pabrik desalinasi di Gaza tengah dan selatan. Namun, kelonggaran blokade itu hanya berlangsung singkat. Pemadaman listrik baru-baru ini telah menyeret wilayah kantong itu kembali ke dalam keadaan darurat yang kian parah, dengan meningkatnya permintaan selama Ramadan yang dibarengi kelangkaan yang mencekik.

"Ini menjadi lebih sulit dari sebelumnya," tutur al-Haddad.

"Selama Ramadan, kami membutuhkan lebih banyak air dibandingkan waktu-waktu lainnya, baik untuk berpuasa atau untuk menyiapkan hidangan berbuka dan sahur. Namun, waktu operasional pabrik desalinasi menjadi lebih singkat, dan jumlah truk tangki air yang datang juga lebih sedikit. Kami tidak tahu berapa lama hal ini akan berlangsung,” imbuh al-Haddad.

Di seluruh Gaza, keluarga-keluarga saat ini menghemat setiap tetes air. Fasilitas-fasilitas desalinasi, yang beroperasi kurang dari 20 persen dari kapasitas normal, mengalami kesulitan karena kelangkaan bahan bakar dan aliran listrik yang tidak menentu. Truk-truk bantuan kemanusiaan mengirim pasokan secara sporadis, tetapi kalkulasi matematisnya begitu menyedihkan. Pada kenyataannya, mulut yang harus diberi minum lebih banyak, sedangkan sumber daya yang bisa disalurkan lebih sedikit.

"Kami sedang berupaya melanjutkan (pengoperasian pabrik desalinasi), namun kelangkaan listrik dan bahan bakar menjadikannya sangat sulit. Jika hal ini berlanjut, kami mungkin harus menghentikan produksi sepenuhnya, dan hal itu akan menyebabkan warga tidak memperoleh akses air selama Ramadan," tutur Abdul Salam Yassin, pejabat di salah satu pabrik desalinasi air di Gaza, kepada Xinhua.

"Sebelum keputusan Israel dibuat, saya dapat menyediakan air yang cukup untuk para pelanggan saya," ujar Fadi Abu Snouna (35), pengemudi truk tangki air di lingkungan permukiman Al-Daraj di Gaza City, kepada Xinhua.

Seorang warga Palestina mengambil air untuk kebutuhan sehari-hari di antara puing-puing bangunan saat Ramadan di kamp pengungsi Jabalia di Jalur Gaza utara pada 5 Maret 2025. (Xinhua/Rizek Abdeljawad)




"Namun saat ini, saya hanya memperoleh seperempat dari jumlah yang biasa saya terima. Selama Ramadan, orang-orang membutuhkan lebih banyak air untuk berbuka dan sahur, namun saya harus meminta maaf kepada para pelanggan saya karena air tidak tersedia," imbuhnya.

Kerugian finansial yang ditimbulkan begitu besar. Harga air bersih melonjak lebih dari dua kali lipat sejak meletusnya perang. Keluarga-keluarga seperti keluarga Mohammed Abdullah di Gaza utara kini harus membayar USD20 (1 USD = Rp16.428) per pekan. Jumlah itu terbilang tidak sedikit di wilayah kantong tersebut, di mana tingkat pengangguran menurut data terbaru Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) tercatat hampir 80 persen.

"Ini beban yang sangat besar, terutama selama Ramadan, ketika kami membutuhkan lebih banyak air untuk menyiapkan hidangan berbuka dan sahur," kata Abdullah (29), ayah dua anak asal Beit Lahia, kepada Xinhua.

Bagi banyak orang, air yang telah terkontaminasi pun menjadi kebutuhan, sebuah fakta yang memprihatinkan. Laila Abu Hamdan (38), ibu empat anak di Khan Younis, Gaza selatan, menguraikan bahwa dia merebus persediaan air kota yang tidak aman untuk mengurangi risiko terhadap kesehatan. 

"Anak-anak saya mengeluh sakit perut, dan saya tahu penyebabnya adalah air yang terkontaminasi," ujarnya.

"Namun harga air bersih sudah terlalu mahal,” ucap Hamdan.

Para pejabat kesehatan saat ini memperingatkan soal bencana yang mengintai. Khalil al-Daqran, juru bicara otoritas kesehatan yang berbasis di Gaza, melaporkan lonjakan penyakit hepatitis dan gastrointestinal yang berkaitan dengan air tercemar.
 
"Air yang tersedia saat ini tidak sepenuhnya aman untuk diminum, namun warga tidak memiliki pilihan lain. Jika situasi ini berlanjut, kami mungkin akan menghadapi wabah penyakit yang meluas, yang akan kian membebani sistem perawatan kesehatan di Gaza yang telah kewalahan," tutur al-Daqran kepada Xinhua.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Fajar Nugraha)