Wamenkum: KUHAP Baru Perlu Atur Ulang Praperadilan dan Peninjauan Kembali

Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej. MI/Pius

Wamenkum: KUHAP Baru Perlu Atur Ulang Praperadilan dan Peninjauan Kembali

Yakub Pryatama Wijayaatmaja • 16 March 2025 14:46

Jakarta: Wakil Menteri Hukum (Wamenkum), Edward O.S. Hiariej, mengatakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru perlu mengatur ulang terkait praperadilan dan peninjauan kembali (PK). Terdapat lima objek praperadilan, yaitu sah tidaknya penangkapan dan penahanan, sah tidaknya penghentian penyidikan dan penuntutan, sah tidaknya penyitaan barang bukti, serta sah tidaknya penetapan tersangka; serta ditambah ganti rugi atau rehabilitasi. 

Menurut dia, praperadilan bisa dilakukan untuk semua upaya paksa. Mulai dari penetapan tersangka, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat.

“Praperadilan nantinya akan diperluas,” ujar Eddy, Jakarta, Minggu, 16 Maret 2025.

Eddy menyebut terdapat satu upaya paksa yang belum ada di KUHAP saat ini, yaitu pemblokiran transaksi perbankan. 

“Jadi kita berikan definisi pemblokiran adalah penghentian sementara transaksi perbankan yang dilakukan atas perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim, kemudian hal itu juga merupakan objek dari praperadilan,” ujar dia.

Eddy mengatakan praperadilan harus dilakukan dengan adil. Ketika seseorang mengajukan gugatan praperadilan, proses hukum itu harus dihentikan untuk sementara waktu. Yang terjadi saat ini, kata dia, adalah praperadilan gugur ketika masuk pemeriksaan sidang. Ditambah lagi dengan putusan MK yang menyatakan praperadilan bisa gugur ketika berkas sudah diberikan kepada penuntut umum. 

“Saya kira, karena ia melakukan interupsi terhadap upaya paksa yang dilakukan, seharusnya itu disetop, dihentikan untuk sementara waktu sampai putusan praperadilan. Supaya tidak alasan lagi diulur-ulur waktunya, sementara perkara itu berjalan terus sampai tahap penuntutan kemudian hakim menggugurkan dengan alasan perkara sudah masuk ke tahap berikutnya,” tutur Eddy.
 

Baca Juga: 

Pastikan Penegakan Hukum, Revisi KUHAP Mesti Perkuat Pengawasan


Menurut dia, hal ini tidak adil karena tidak memberikan perlindungan terhadap HAM. Kemudian, soal PK juga menjadi perhatian dalam KUHAP baru. Tunggakan perkara di Mahkamah Agung (MA) sebanyak 31 ribu, sedangkan jumlah Hakim Agung tidak sampai 50 orang. 

“Di Indonesia ini menganggap PK sebagai peradilan tingkat empat. PK bisa berkali-kali berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, padahal di dalam sistem peradilan pidana ada asas perkara pidana itu harus ada akhirnya. Ya kalau itu diulang-ulang PK, lalu kepastian hukumnya di mana? Kita harus membatasi PK. Saya kira KUHAP harus membatasi itu,” ujar dia.

Eddy memaparkan PK dalam literatur Belanda sebagai alat hukum yang sangat luar biasa. Sebab, PK akan membatalkan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, dan tidak bisa berkali-kali.

“Intinya harus dibatasi. Karena dampaknya akan terjadi penumpukan perkara,” ujar dia.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Achmad Zulfikar Fazli)