AS-Israel Incar Afrika untuk Tampung Warga Gaza

Warga Gaza kembali ke rumah mereka saat gencatan senjata fase pertama disepakati. Foto: Middles East Eye

AS-Israel Incar Afrika untuk Tampung Warga Gaza

Fajar Nugraha • 14 March 2025 20:30

Washington: Amerika Serikat (AS) dan Israel telah menghubungi pejabat dari tiga pemerintah Afrika Timur untuk membahas penggunaan wilayah mereka sebagai tujuan potensial untuk pemukiman kembali warga Palestina yang terusir dari Jalur Gaza. Pemindahan ini berdasarkan rencana pascaperang yang diusulkan Presiden Donald Trump.

Rencana itu terkuak oleh informasi dari pejabat Amerika dan Israel kepada The Associated Press. Kontak dengan Sudan, Somalia, dan wilayah Somalia yang memisahkan diri yang dikenal sebagai Somaliland mencerminkan tekad AS dan Israel untuk terus maju dengan rencana yang telah dikutuk secara luas dan menimbulkan masalah hukum dan moral yang serius.

Ketiga tempat tersebut miskin dan, dalam beberapa kasus, dilanda kekerasan, usulan tersebut juga menimbulkan keraguan terhadap tujuan Trump yang dinyatakan untuk memukimkan kembali warga Palestina di Gaza di "daerah yang indah."

Pejabat dari Sudan mengatakan mereka telah menolak tawaran dari AS, sementara pejabat dari Somalia dan Somaliland mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui adanya kontak apa pun.

Berdasarkan rencana Trump, lebih dari 2 juta penduduk Gaza akan dipindahkan secara permanen ke tempat lain. Ia mengusulkan agar AS mengambil alih kepemilikan wilayah tersebut, mengawasi proses pembersihan yang panjang, dan mengembangkannya sebagai proyek real estat.

Gagasan pemindahan massal warga Palestina pernah dianggap sebagai fantasi kelompok ultranasionalis Israel. Namun, sejak Trump menyampaikan gagasan tersebut dalam pertemuan di Gedung Putih bulan lalu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah memujinya sebagai "visi yang berani."

Warga Palestina di Gaza telah menolak usulan tersebut dan menepis klaim Israel bahwa pemindahan tersebut akan dilakukan secara sukarela. Negara-negara Arab telah menyatakan penentangan keras dan menawarkan rencana rekonstruksi alternatif yang akan membiarkan warga Palestina tetap tinggal di sana. Kelompok-kelompok hak asasi manusia mengatakan bahwa memaksa atau menekan warga Palestina untuk pergi dapat menjadi kejahatan perang yang potensial.

Namun, Gedung Putih mengatakan Trump "berpegang teguh pada visinya."

Berbicara dengan syarat anonim untuk membahas inisiatif diplomatik rahasia, pejabat AS dan Israel mengonfirmasi kontak dengan Somalia dan Somaliland, sementara Amerika mengonfirmasi Sudan juga. Mereka mengatakan tidak jelas seberapa besar kemajuan yang dicapai dalam upaya tersebut atau pada tingkat apa diskusi tersebut berlangsung.

Penjangkauan terpisah dari AS dan Israel ke tiga tujuan potensial dimulai bulan lalu, beberapa hari setelah Trump meluncurkan rencana Gaza bersama Netanyahu, menurut pejabat AS, yang mengatakan bahwa Israel memimpin dalam diskusi tersebut.

Israel dan AS memiliki berbagai insentif -,finansial, diplomatik, dan keamanan,-untuk ditawarkan kepada mitra potensial ini. Itu adalah formula yang digunakan Trump lima tahun lalu ketika ia menjadi perantara Abraham Accords dan serangkaian perjanjian diplomatik yang saling menguntungkan antara Israel dan empat negara Arab.

Gedung Putih menolak berkomentar tentang upaya penjangkauan tersebut.

Kantor Netanyahu dan Ron Dermer, menteri Kabinet Israel dan orang kepercayaan Netanyahu yang telah memimpin perencanaan pascaperang Israel, juga tidak memberikan komentar.

Namun Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, seorang pendukung lama dari apa yang disebutnya emigrasi "sukarela" warga Palestina, mengatakan minggu ini bahwa Israel sedang berupaya mengidentifikasi negara-negara untuk menerima warga Palestina. Ia juga mengatakan Israel tengah mempersiapkan "departemen emigrasi yang sangat besar" di dalam Kementerian Pertahanannya.

Negara yang didekati

Afrika Utara tersebut merupakan salah satu dari empat negara Abraham Accord yang sepakat untuk menormalisasi hubungan diplomatik dengan Israel pada tahun 2020.

Sebagai bagian dari kesepakatan tersebut, AS menghapus Sudan dari daftar negara pendukung terorisme, sebuah langkah yang memberi negara tersebut akses ke pinjaman internasional dan legitimasi global. Namun, hubungan dengan Israel tidak pernah terjalin karena Sudan terjerumus dalam perang saudara antara pasukan pemerintah dan kelompok paramiliter RSF.

Menurut PBB dan kelompok-kelompok hak asasi manusia, konflik tersebut telah ditandai oleh kekejaman, termasuk pembunuhan dan pemerkosaan yang bermotif etnis. Pengadilan Kriminal Internasional sedang menyelidiki dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, dan pemerintahan Presiden Joe Biden saat itu pada bulan Januari mengatakan RSF dan proksinya melakukan genosida.

AS dan Israel akan kesulitan untuk membujuk warga Palestina agar meninggalkan Gaza, khususnya ke negara yang sedang bermasalah tersebut. Namun, mereka dapat menawarkan insentif kepada pemerintah Khartoum, termasuk keringanan utang, persenjataan, teknologi, dan dukungan diplomatik.

Dua pejabat Sudan, yang berbicara dengan syarat anonim untuk membahas masalah diplomatik yang sensitif, mengonfirmasi bahwa pemerintahan Trump telah mendekati pemerintah yang dipimpin militer untuk menerima warga Palestina.

Salah satu dari mereka mengatakan kontak tersebut dimulai bahkan sebelum pelantikan Trump dengan tawaran bantuan militer terhadap RSF, bantuan rekonstruksi pascaperang, dan insentif lainnya.

Kedua pejabat tersebut mengatakan pemerintah Sudan menolak gagasan tersebut. "Saran ini langsung ditolak," kata seorang pejabat. "Tidak seorang pun membuka masalah ini lagi."

Kepala militer Jenderal Abdel-Fattah BUrhan mengatakan, “pada pertemuan puncak para pemimpin Arab minggu lalu di Kairo bahwa negaranya dengan tegas menolak rencana apa pun yang bertujuan untuk memindahkan warga Palestina yang bersaudara dari tanah mereka dengan alasan atau nama apa pun."

Somaliland, wilayah berpenduduk lebih dari 3 juta orang di Tanduk Afrika, memisahkan diri dari Somalia lebih dari 30 tahun yang lalu, tetapi tidak diakui secara internasional sebagai negara merdeka. Somalia menganggap Somaliland sebagai bagian dari wilayahnya.

Presiden baru Somaliland, Abdirahman Mohamed Abdullahi, telah menjadikan pengakuan internasional sebagai prioritas. Seorang pejabat Amerika yang terlibat dalam upaya tersebut mengonfirmasi bahwa AS "melakukan pembicaraan diam-diam dengan Somaliland tentang berbagai bidang di mana mereka dapat membantu AS sebagai imbalan atas pengakuan." Kemungkinan pengakuan AS dapat memberikan insentif bagi Abdullahi untuk menarik diri dari solidaritas wilayah tersebut dengan Palestina.

Uni Emirat Arab, negara lain yang menandatangani Perjanjian Abraham yang telah menjalin hubungan kuat dengan Israel, pernah memiliki pangkalan militer di Somaliland dan memiliki kepentingan komersial di sana, termasuk pelabuhan. Lokasi strategis wilayah tersebut, di perairan Teluk Aden dekat Yaman, tempat tinggal kelompok pemberontak Houthi, juga dapat menjadikannya sekutu yang berharga.

Selama bertahun-tahun, Somaliland dipuji karena lingkungan politiknya yang relatif stabil, sangat kontras dengan perjuangan Somalia yang terus berlanjut di tengah serangan mematikan oleh kelompok militan al-Shabab yang terkait dengan al-Qaeda. Sejak 1991, Somaliland telah mempertahankan pemerintahan, mata uang, dan struktur keamanannya sendiri. Namun, negara ini memiliki salah satu tingkat pendapatan terendah di dunia.

Seorang pejabat di Somaliland, yang berbicara dengan syarat anonim karena ia tidak berwenang berbicara kepada media, mengatakan bahwa pemerintahnya belum didekati dan tidak sedang dalam pembicaraan tentang penerimaan warga Palestina.

Somalia telah menjadi pendukung vokal warga Palestina, yang sering menyelenggarakan protes damai di jalan-jalannya untuk mendukung mereka. Negara tersebut bergabung dengan pertemuan puncak Arab baru-baru ini yang menolak rencana Trump dan tampaknya menjadi tujuan yang tidak mungkin bagi warga Palestina, bahkan jika mereka setuju untuk pindah.

Sambu Chepkorir, seorang pengacara dan peneliti konflik di Nairobi, Kenya, mengatakan sulit untuk memahami mengapa Somalia ingin menampung warga Palestina mengingat negara tersebut sangat mendukung pemerintahan sendiri Palestina.

"Penataan ulang terus berubah, jadi mungkin ada agenda tersembunyi," kata Chepkorir, seperti dikutip dari Korea Times, Jumat 14 Maret 2025.

Seorang pejabat Somalia, yang berbicara dengan syarat anonim karena ia tidak berwenang berbicara kepada media, mengatakan negara tersebut belum didekati untuk menerima warga Palestina dari Gaza dan tidak ada diskusi tentang hal itu.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Fajar Nugraha)