Lima tokoh inspiratif menerima penghargaan Svarna Bhumi Award 2025. (Foto: Dok.)
Jakarta: Di tengah berbagai tantangan pangan, Svarna Bhumi Award 2025 menjadi panggung apresiasi bagi para pejuang pangan yang bekerja dalam senyap. Tahun ini, lima tokoh inspiratif mendapat sorotan berkat dedikasi mereka melestarikan benih, menjaga ekologi, sekaligus meningkatkan kesejahteraan desa.
Penganugerahan Svarna Bhumi Award 2025 telah berlangsung di Grand Studio Metro TV, Jakarta pada Minggu, 24 Agustus 2025. Penyelenggaraan ini menjadi makin menarik karena mayoritas finalis berasal dari generasi muda berusia 30-35 tahun.
Direktur Utama PT Pupuk Indonesia (Persero) Rahmad Pribadi menyambut gembira terselenggaranya acara penghargaan untuk yang ketiga kali ini. Ia menilai acara ini tidak hanya menjadi ajang apresiasi, tetapi juga inspirasi bagi petani di seluruh Indonesia.
"Dari ratusan kandidat, sebagian besar adalah anak-anak muda. Ini memberi harapan bahwa regenerasi petani terus berjalan dan swasembada pangan dapat tercapai," ujar Rahmad Pribadi.
Svarna Bhumi Award akan terus menjadi ruang apresiasi sekaligus komunikasi bagi pejuang pangan di seluruh Indonesia. "Kita ingin meningkatkan regenerasi petani, adopsi teknologi, dan kecintaan terhadap pangan lokal," ujar Rahmat.
Berikut ini 5 tokoh inspiratif peraih Svarna Bhumi Award 2025
1. Kurniawan Adi Prasetyo: Penjaga Benih Lokal dari Lamongan
Kurniawan mengenal dunia pertanian sejak masa kuliah, ketika ia banyak melakukan riset ke hutan, desa adat, hingga wilayah terpencil. Dari perjalanan itu, ia menemukan beragam tanaman unik yang belum banyak dikenal, termasuk bambu lokal. Sejak saat itu, ia menyadari Indonesia memiliki kekayaan genetik benih yang luar biasa.
Meski sempat mendapat tawaran beasiswa ke Austria dan Thailand pada 2017-2018, Kurniawan memilih bertahan di Tanah Air. Tahun 2016, ia mendirikan komunitas 'Petani Militan' yang berfokus pada penanaman benih asli non-rekayasa genetika. Setahun kemudian, ia membangun Bank Benih Lokal di Lamongan, Probolinggo, dan Jember yang kini telah mengoleksi lebih dari 500 varietas padi lokal, 75 varietas jagung, serta puluhan jenis kacang-kacangan dan umbi-umbian.
Perjalanan itu terus berlanjut ketika ia mendirikan Sedesa Farm, sebuah start-up pertanian organik berbasis hulu-hilir. Melalui inisiatif ini, Kurniawan membangun ekosistem pertanian yang menyeluruh, mulai dari penanaman, pemanenan, pengemasan, hingga distribusi.
Kontribusi Kurniawan tidak berhenti pada pelestarian benih. Pada 2020, Sedesa Farm berhasil menanam padi lokal Mentik dari satu sendok benih hingga menjadi lahan satu hektar di Lamongan, Jawa Barat, dan Lampung. Ia juga mengembangkan sistem pertanian terpadu dengan membangun kandang ternak, rumah kompos, greenhouse, hingga instalasi biogas.
Konsep pertanian sirkular ini membuat limbah pertanian bisa dimanfaatkan kembali sebagai pakan ternak, sementara limbah ternak diolah menjadi pupuk organik.
Kini, melalui kerja sama dengan lebih dari 50 petani, 40 peternak sapi dan domba, serta pengelolaan tujuh greenhouse, Sedesa Farm berhasil meningkatkan kesejahteraan petani. Omzet petani beras mencapai sekitar Rp10 juta per bulan, dengan harga jual beras yang lebih kompetitif di kisaran Rp17.000–25.000 per kilogram.
Selama perjalanan kariernya, ia telah mengantongi berbagai penghargaan, mulai dari Pemuda Utama Lamongan (2019), Pemuda Pelopor Bidang Pangan Jawa Timur (2020), hingga Petani Milenial Inovatif Jawa Timur (2024).
Setelah menerima penghargaan Svarna Bhumi Award 2025, Kurniawan menyampaikan rasa syukur dan harapan agar gerakan pelestarian benih lokal terus berkembang.
"Tentunya kami sangat berbangga, karena Alhamdulillah kita bisa mendapatkan penghargaan ini. Semoga ke depan ini bisa menjadi inspirasi dan motivasi kita untuk berkembang lebih baik-baiknya," ujar Kurniawan.
Ke depan, Kurniawan menegaskan misinya tidak berubah, yakni mewujudkan ketahanan pangan, kemandirian pangan, dan kedaulatan pangan Indonesia melalui benih lokal yang lestari.
2. Nisya Saadah Wargadipura: Merawat Ekologi lewat Pesantren
Lahir dari keluarga petani di Garut, Nisya sudah terbiasa hidup dekat dengan tanah dan alam sejak kecil. Sejak 1994, bahkan sebelum menikah, ia telah aktif dalam advokasi agraria di Jawa Barat. Bersama sang suami, Kyai Ibang Lukman Nurdin, Nisya kemudian mendirikan Serikat Petani Pasundan (SPP) sebagai wadah perjuangan petani.
Namun, pada 2008, keduanya memilih mendirikan Pesantren Ath Thaariq. Alasan sederhana tapi mendasar mendorong langkah ini. Meski tanah sudah kembali ke tangan petani pasca reforma agraria, kemiskinan tetap menghantui karena sistem produksi masih tergantung pada pola revolusi hijau.
Di pesantren itu, keduanya berbagi peran. Ibang menanamkan nilai agama yang berkaitan dengan ekologi, sementara Nisya menekuni keragaman hayati. Dari lahan seluas satu hektare, mereka menanam lebih dari 400 jenis tanaman pangan dan obat secara organik, tanpa pestisida maupun pupuk kimia. Sistem zonasi mereka meliputi benih, sawah, sayuran, perikanan, hingga tanaman liar.
Nisya juga memperkaya pengetahuannya lewat kursus singkat di The Navdanya Biodiversity Conservation Farm, India, dan belajar langsung dari pamannya tentang konsep polikultur. Prinsip ini mengajarkan keseimbangan alam: burung hantu, ular, hingga mikroba tanah diberi ruang agar ekosistem tetap sehat.
(Foto: Dok.)
Sejak berdiri, Pesantren Ath Thaariq telah melahirkan sekitar 5.000 santri dari berbagai daerah di Indonesia. Santri tidak hanya belajar ilmu agama, tetapi juga praktik bertani organik, menjaga tanah, hingga pola makan sehat. Jumlah santri dibatasi hanya 30 orang per angkatan sesuai kapasitas lahan.
Pesantren ini kini menjadi model agroekologi berbasis green Islam yang mengintegrasikan agama, kearifan lokal, dan ilmu pertanian modern. Nisya percaya, pertanian harus berorientasi pada keberlanjutan, bukan sekadar produksi. Dari Garut, ia juga membangun Sekolah Ekologi Indonesia di Aceh Tenggara dan Jawa Barat, demi memperluas transfer pengetahuan ke masyarakat luas.
Kerja keras Nisya berbuah pengakuan internasional. Pada 2024, ia menerima penghargaan Food Hero FAO atas kontribusinya dalam pertanian berkelanjutan yang adil secara sosial, gender, dan lingkungan. Pesantren Ath Thaariq juga menjadi satu-satunya lembaga pendidikan Islam yang mewakili FAO Indonesia dalam program Dekade Pertanian Keluarga 2018-2028.
Selain Food Hero FAO 2024, Nisya telah mengantongi sederet apresiasi, mulai dari 72 Ikon Berprestasi versi UKP PIP 2017, Inspirator Revolusi Mental Kemenko PMK 2018, hingga penghargaan sebagai Kartini Indonesia versi Majalah Tempo 2016. Bersama suaminya, ia dikenal sebagai 'Pekerja Binadamai dari Tanah Pasundan.'
Penghargaan Svarna Bhumi Award juga diterima Nisya Saadah Wargadipura. Penghargaan ini diterima oleh putrinya, Salwa, yang menekankan semangat pesantren ekologi Ath Thaariq.
"Apresiasi Svarna Bhumi ini menjadi lampu kami untuk terus bergerak dalam menyebarkan pengetahuan diri kita," kata Salwa.
3. Asep Hidayat: Menghidupkan Kembali Hanjeli dari Sukabumi
Asep Hidayat juga mendapat penghargaan Svarna Bhumi Award 2025. Penghargaan diberikan berkat inovasi mantan buruh migran ini yang kini membangun desa wisata berbasis hanjeli di Sukabumi. Pada kesempatan itu, ia menceritakan tekadnya saat menerima penghargaan.
"Dulu hanjeli ini banyak yang tidak mengenal, bahkan sudah hampir mau punah. Dari hanjeli, kami olah jadi produk. Ada dodol, ada berbagai produk lainnya. Termasuk kami menjadi lokasi eduwisata pertama di Indonesia," katanya.
Sekembalinya dari Timur Tengah pada 2009, Asep menemukan tanaman hanjeli, pangan lokal yang nyaris dilupakan masyarakat. Berawal dari rasa ingin tahu, ia mulai membudidayakannya sejak 2012. Tak hanya membeli dari petani, Asep juga mengembangkan sistem pemberdayaan warga. Ia membeli hasil panen hanjeli dengan harga Rp4.000–5.000 per kilogram, lebih tinggi dari gabah padi.
Upayanya tak hanya berhenti di budidaya. Ia membangun konsep Integrated Tourism Farming (ITF) yang menggabungkan pertanian, edukasi, dan wisata. Dari hanjeli, berbagai produk lahir, mulai dari dodol, rengginang, bubur, hingga sereal cepat saji. Ia bahkan mendirikan Yayasan Rumah Hanjeli Indonesia pada 2021 untuk memasarkan produk hingga ke luar negeri.
Gerakan yang dipelopori Asep mengubah wajah desanya. Sejak 2017, Desa Waluran Mandiri resmi menjadi desa eduwisata hanjeli. Kehadiran wisatawan lokal dan mancanegara membuka lapangan pekerjaan baru, dari homestay hingga UMKM. Mantan buruh migran yang dulu mencari penghidupan ke luar negeri kini ikut menjadi pemandu wisata di kampung halaman sendiri.
Hanjeli juga memberi dampak sosial dan ekonomi. Penjualan yang semula hanya 5 ton per tahun, kini meningkat hingga 20 ton per tahun. Wisata berbasis hanjeli berkembang dengan adanya museum, rumah baca, hingga program edukasi bagi mahasiswa dan pelajar.
Selain hanjeli, ia juga menggagas program 'Pirus' (pipir imah diurus) yang mengajak warga memanfaatkan lahan kosong di sekitar rumah untuk menanam sayuran. Program ini berkembang menjadi 'Budisalamber' (budidaya ikan dan sayuran dalam ember) sebagai solusi bank pangan keluarga.
Visinya kini adalah menjadikan Sukabumi sebagai pusat agrowisata terintegrasi yang menggabungkan wisata, pangan, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat.
Dedikasi Asep mengundang perhatian publik. Ia pernah meraih Kalpataru Provinsi Jawa Barat, Anugerah Desa Wisata Kemenparekraf, hingga Responsible Tourism Award in Southeast Asia di Malaysia. Namanya pun tercatat sebagai finalis tingkat dunia di bidang pariwisata berkelanjutan.
4. Agus Wibowo: ‘Menyulap’ Kentang dan Cabai jadi Harapan
Sejak kecil, Agus Wibowo akrab dengan dunia pertanian. Orang tuanya bekerja keras di ladang agar anak-anaknya bisa memperoleh kehidupan yang lebih baik. Menjadi orang pertama di dusunnya yang berhasil lulus kuliah, Agus menempuh pendidikan S1 Agroteknologi di Surakarta.
Kesadarannya terhadap jatuhnya harga sayur yang tidak sebanding dengan kerja keras petani muncul ketika ia masih sekolah asrama. Hal itu mendorongnya melakukan perubahan. Saat kuliah, ia meneliti penyakit pada tanaman kentang yang dialami keluarganya, dan dari sanalah lahir ide membangun usaha pertanian berbasis kemitraan.
Sebelum lulus, Agus sudah merintis bisnis kentang dari hulu ke hilir, mulai dari pembibitan, penanaman, pemasaran ke pasar lokal, pabrik, hingga kerja sama B2B. Ia merasa punya tanggung jawab moral sebagai anak pertama dari dusunnya yang menempuh kuliah untuk membawa manfaat bagi komunitasnya.
Setelah lulus, Agus mendirikan badan usaha sendiri. Ia sempat menorehkan prestasi internasional, termasuk menjadi pemenang Global Student Entrepreneur Award di Singapura pada 2019. Hal ini semakin menguatkan tekadnya meyakinkan petani bahwa pertanian bisa dijalankan secara profesional.
Awalnya ia fokus pada pengembangan bibit kentang unggul. Kini, bersama mitra, ia mampu menghasilkan 20–30 ton kentang per bulan dari lahan 3 hektare pribadi serta lahan tambahan petani mitra. Kentang industri dipasarkan ke perusahaan besar seperti Indofood, sementara kentang konsumsi dipasarkan ke pasar tradisional di Semarang, Solo, dan Yogyakarta.
Tidak hanya itu, Agus juga mendirikan koperasi hortikultura di Magelang pada 2022. Koperasi ini menerapkan sistem lelang agar petani memperoleh harga lebih baik. Saat ini, koperasi memiliki sekitar 2.000 petani mitra dengan volume produksi cabai mencapai 2-10 ton per hari, bahkan menjadi salah satu tempat stok nasional yang bekerja sama dengan Kementerian Pertanian.
Koperasi ini tidak hanya berorientasi pada bisnis, tetapi juga menjalankan fungsi edukasi. Agus rutin memberikan pelatihan dan transfer teknologi bagi petani, mahasiswa, hingga peserta program pertanian.
Nama Agus Wibowo tak lepas dari sederet penghargaan. Ia pernah menjadi Juara Wirausaha Muda Mandiri 2018, pemenang berbagai kompetisi kewirausahaan internasional, serta beberapa kali menyabet gelar Petani Berprestasi Kabupaten Magelang (2020 dan 2022).
Terbaru, pemuda dari Magelang ini mendapat penghargaan di ajang Svarna Bhumi Award 2025. Usai menerima penghargaan, ia menegaskan pentingnya regenerasi petani.
"Ini menjadi salah satu bukti bahwa kami sebagai pemuda pertanian di Indonesia juga bisa berkarya melalui desa-desa kecil," ujarnya.
Kini, dengan kiprahnya, Agus Wibowo menjadi teladan generasi muda dalam membuktikan bahwa pertanian mampu membawa dampak nyata bagi banyak orang, sekaligus mendorong regenerasi petani di Indonesia.
5. Untung Wijanarko: Bertahan di Lereng Merapi dengan Pertanian Organik
Lahir dan besar dari keluarga petani sederhana, Untung Wijanarko terbiasa membantu orang tuanya menanam dan memasarkan selada sejak remaja. Dari hasil pemasaran ke berbagai pasar dan rumah makan di Yogyakarta, ia berhasil membiayai pendidikannya hingga lulus kuliah D3 Bahasa Inggris.
Meski sempat bekerja di berbagai industri, termasuk media, perhotelan, dan penerbangan, hatinya kembali ke dunia pertanian. Tahun 2008, bersama tujuh rekannya, ia mendirikan Tani Organik Merapi (TOM) di lereng Gunung Merapi.
"Kenapa saya tertarik dunia pertanian? Terus terang, saya dari keluarga petani. Kondisi ekonomi memang kurang mampu. Di situ saya melihat petani hanya berpikir bagaimana mencukupi kehidupan sehari-hari, bukan menabung atau menyekolahkan anak. Dari situ saya merasa harus ada perubahan," katanya.
Untung mengusung filosofi bertani secara bijak, yakni bertani tanpa merusak tanah. Ia mulai fokus pada pertanian organik setelah menyadari dampak penggunaan bahan kimia terhadap lahan dan kesehatan masyarakat.
"Bertani secara bijak adalah bertani dengan tidak merusak kondisi tanah kita, dengan memberikan hasil produksi yang sehat agar masyarakat menjadi sehat dan cerdas untuk anak cucu kita," tuturnya.
Ketekunannya tidak lepas dari ujian berat. Erupsi Merapi 2010 hampir membuat Tani Organik Merapi (TOM) gulung tikar. Dari delapan orang pendiri, hanya Untung dan rekannya, Sudiarto, yang bertahan. Ia bahkan harus menggadaikan motor dan meminjam uang demi menjaga kelangsungan usaha dan pekerja.
Namun, titik balik hadir pada 2013 ketika TOM menjalin kerja sama dengan Dinas Pertanian dan Bank Indonesia serta mendapatkan sertifikasi organik. Sejak itu, produk TOM mulai masuk ke jaringan pasar modern seperti Superindo, Carrefour, Hypermart, hingga Indogrosir.
Kini, setelah 17 tahun, TOM berkembang pesat dengan lahan seluas 1 hektare sebagai pusat kegiatan, didukung 14 karyawan, dan bermitra dengan puluhan kelompok tani dengan total lahan garapan 25 hektare. Setiap hari, TOM memasok hingga 300 kilogram sayuran organik ke berbagai supermarket dengan omzet miliaran rupiah per tahun.
Berbagai penghargaan telah diraih Untung dan TOM, mulai dari Adhikarya Pangan Nusantara 2016, Prestator Pejuang Perekonomian Rakyat 2015, hingga International Organic Farming Innovation Award 2021 dari IFOAM di Korea Selatan.
"Kami ingin memberikan inspirasi kepada anak-anak muda bahwa dunia pertanian tidak hanya bisa dipandang sebelah mata. Dunia pertanian adalah masa depan," kata Untung, usai menerima penghargaan Svarna Bhumi Award 2025.