Buronan BLBI Ditangkap saat Hendak Kabur, Pemerintah Diminta Lebih Tegas

Buronan kasus BLBI Marimutu Sinivasan ditangkap petugas Kantor Imigrasi Kelas II Entikong. Dok. Istimewa

Buronan BLBI Ditangkap saat Hendak Kabur, Pemerintah Diminta Lebih Tegas

Eko Nordiansyah • 10 September 2024 18:39

Jakarta: Penangkapan obligor kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Marimutu Sinivasan yang ingin meninggalkan Indonesia menuju Malaysia diapresiasi. Keinginan melarikan diri bos Texmaco Grup ini dilakukan di tengah pencegahan yang diberlakukan atas obligor yang memiliki utang besar kepada negara.

"Kinerja petugas perbatasan patut diapresiasi. Ini adalah bentuk upaya nyata dalam menjaga kedaulatan hukum dan memastikan pihak-pihak yang memiliki tanggung jawab besar terhadap negara tetap berada dalam pengawasan," ujar Pengamat hukum Hardjuno Wiwoho dalam keterangannya di Jakarta, Selasa, 10 September 2024.

Meski begitu, Hardjuno mengkritisi pendekatan hukum yang diterapkan dalam kasus ini. Pasalnya, Marimutu Sinivasan dan kasus-kasus besar lainnya yang terkait dengan BLBI hanya dimintai pertanggungjawaban secara perdata dan bukan pidana. Padahal kerugian negara yang ditanggungnya mencapai Rp29 triliun.

"Kasus ini cermin adanya ketimpangan dalam penerapan hukum di Indonesia. Kita melihat bahwa obligor dengan kewajiban sebesar Rp29 triliun hanya dihadapkan pada kasus perdata, sementara pelaku pencurian kecil atau kesalahan perpajakan yang nilainya jauh lebih kecil bisa langsung dijatuhi hukuman pidana,” tegasnya.

Melihat besarnya dampak kerugian negara, ia menegaskan perlunya penerapan hukum progresif yang lebih tegas. Hanya saja menurutnya, mungkin ada justifikasi hukum untuk memperlakukan kasus ini sebagai perdata, terutama terkait status utang yang dimiliki oleh Grup Texmaco yang dipimpin Marimutu.
 

Baca juga: Keberadaan Buronan BLBI Marimutu Sinivasan Tak Diketahui Usai Diciduk

Perlu reformasi hukum

Ia menekankan, sistem hukum Indonesia perlu beradaptasi dan memperkuat perangkatnya untuk memastikan kasus-kasus besar seperti BLBI bisa ditangani dengan proporsional dan adil. Apalagi sudah lebih dari dua dekade negara memberi kesempatan bagi para obligor untuk menyelesaikan kewajibannya. 

Hardjuno melanjutkan bahwa ketidakmampuan sistem hukum untuk memberikan tindakan yang setimpal terhadap para obligor besar seperti ini tidak hanya merugikan negara secara finansial. Tetapi hal ini juga menggerus kepercayaan publik terhadap penegakan hukum yang tidak adil.

"Kita tidak bisa membiarkan obligor-obligor besar terus berlindung di balik status perdata sementara mereka memiliki kewajiban yang sangat besar terhadap negara. Ketidakmampuan untuk menegakkan keadilan secara proporsional akan menciptakan kesan bahwa hukum di negara ini hanya tegas terhadap mereka yang lemah," kata dia.

Untuk itu, Hardjuno mendesak adanya reformasi hukum yang lebih menyeluruh untuk memperbaiki situasi. Menurutnya, negara harus mengkaji ulang pendekatan perdata dalam kasus-kasus besar seperti BLBI, dan mulai mempertimbangkan langkah-langkah hukum yang lebih keras, termasuk sanksi pidana.

"Dalam kasus BLBI, di mana kerugian negara begitu besar, hukum progresif harus diterapkan. Ini bukan hanya soal menagih utang, tetapi juga soal menjaga keadilan dan integritas sistem hukum kita. Negara tidak boleh membiarkan obligor-obligor besar yang merugikan rakyat bebas begitu saja," tutup Hardjuno.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Eko Nordiansyah)