UU Maritim Baru Filipina Bikin Tiongkok Makin Agresif di Laut China Selatan

Tiongkok dinilai akan lebih agresif terhadap Filipina di Laut China. (Xinhua)

UU Maritim Baru Filipina Bikin Tiongkok Makin Agresif di Laut China Selatan

Marcheilla Ariesta • 15 November 2024 15:45

Manila: Tiongkok kemungkinan akan melanjutkan pendekatan angkatan lautnya secara agresif terhadap Filipina di tengah pertikaian mereka di Laut China Selatan. Ini menyusul undang-undang maritim baru yang ditandatangani Manila.

Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. telah menandatangani dua undang-undang maritim baru untuk melindungi wilayah sengketa Manila, yakni Undang-Undang Zona Maritim Filipina dan Undang-Undang Alur Laut Kepulauan Filipina. 

Menurut Kantor Kepresidenan Filipina, Undang-Undang Zona Maritim Filipina berupaya untuk menetapkan alur laut kepulauan negara tersebut, yang akan menciptakan rute di atas perairan dan wilayah udara negara tersebut.

Undang-undang tersebut juga mendeklarasikan zona maritim Filipina sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS). Undang-Undang Alur Laut Kepulauan Filipina menetapkan sistem alur laut kepulauan dan rute udara, yang melaluinya kapal dan pesawat asing akan melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan.

Raymond Powell, direktur Sealight di Pusat Inovasi Keamanan Nasional Gordian Knot Universitas Stanford mengatakan, penerapan undang-undang tersebut diperlukan untuk strategi perlawanan jangka panjang Manila terhadap Beijing.

“Pengesahan undang-undang maritim baru Filipina merupakan langkah penting dalam perang hukumnya melawan agresi maritim Tiongkok, yang telah mencapai skala pendudukan di sebagian besar wilayah Laut Filipina Barat,” kata Powell kepada VOA, Jumat, 15 November 2024.

Perang hukum adalah istilah yang diberikan untuk penggunaan tindakan politik dan hukum dalam suatu sengketa.

Malaysia juga memprotes undang-undang maritim baru Filipina. Wakil Menteri Luar Negeri Malaysia, Mohamad Alamin mengatakan, undang-undang tersebut menyentuh klaim Malaysia yang tumpang tindih atas wilayah yang berbatasan dengan Sabah di Pulau Kalimantan.

Namun, Tiongkok diketahui mengklaim hampir seluruh Laut China Selatan di bawah sembilan garis putus-putus yang menunjukkan wilayahnya.

Pada 2016, Pengadilan Arbitrase Tetap memutuskan bahwa klaim Beijing tidak memiliki dasar hukum berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut.

Tiongkok telah lama mengabaikan putusan tersebut. Beijing dan Filipina sama-sama mengklaim Beting Thomas Kedua di Kepulauan Spratly, yang mereka sebut sebagai Kepulauan Nansha. Beting Scarborough, atau Pulau Huangyan, juga diperebutkan oleh kedua negara. Beijing merebut pulau itu pada 2012.

Dalam beberapa tahun terakhir, klaim yang tumpang tindih meningkat ketika kapal-kapal Filipina menghadapi serangan agresif dari kapal-kapal Tiongkok saat beroperasi di perairan yang disengketakan.

Powell mengatakan, penandatanganan undang-undang maritim oleh Manila merupakan bagian dari strategi jangka panjang.

"Filipina kini tidak hanya memiliki pangkalan militer RRC (nama resmi Tiongkok) di Mischief Reef, jauh di dalam zona ekonomi eksklusifnya yang sah, Tiongkok kini mengendalikan akses ke beberapa fitur utama, seperti Scarborough, Sabina, dan Second Thomas Shoals. Dengan Beijing yang kini bertindak sebagai pasukan pendudukan kekaisaran, Manila membutuhkan strategi perlawanan yang komprehensif dan jangka panjang untuk meningkatkan biaya pendudukan tersebut. Lawfare akan menjadi komponen utama kampanye tersebut," katanya.

Tiongkok telah menentang undang-undang maritim baru Filipina, menyebutnya sebagai pelanggaran serius. Beijing memanggil duta besar Filipina untuk memprotes minggu lalu, sementara Kedutaan Besar Tiongkok di Manila telah memperingatkan Filipina tentang tindakan "sepihak"-nya.

"Tiongkok akan terus mengambil tindakan yang diperlukan sesuai dengan hukum untuk menjaga kedaulatan teritorial dan hak maritimnya," kata kedutaan besar tersebut dalam sebuah pernyataan.

Sejak Marcos menjadi presiden pada 2022, Manila telah menghidupkan kembali hubungannya dengan AS, yang telah menjauh di bawah Presiden Filipina sebelumnya Rodrigo Duterte, meskipun AS dan Filipina telah lama menjadi mitra pertahanan bersama.

Di bawah Marcos, Filipina telah memberi pasukan AS lebih banyak akses ke pangkalan militernya dan melakukan latihan angkatan laut bersama. Manila juga bermaksud untuk membeli rudal jarak menengah dari Washington untuk memperkuat pertahanannya, sementara Tiongkok mengklaim tindakan tersebut akan merusak perdamaian di kawasan tersebut.

Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin akan melakukan perjalanan ke Filipina akhir bulan ini sebagai bagian dari serangkaian pertemuan Asia-Pasifik di kawasan tersebut.

Namun dengan Presiden terpilih AS Donald Trump yang akan menjabat pada bulan Januari, masih ada pertanyaan tentang peran Washington di antara kedua negara.

"Filipina perlu meyakinkan Presiden terpilih Trump tentang nilai yang terus dimilikinya sebagai mitra AS di Indo-Pasifik," Vincent Kyle Parada, mantan analis pertahanan di Angkatan Laut Filipina.

"Meskipun konsensus bipartisan terhadap China tetap kuat, Marcos Jr. harus mengantisipasi hubungan yang lebih menguntungkan atau hubungan transaksional dengan Washington dan berupaya mengandalkan inisiatif kebijakan luar negerinya dengan AS," pungkas Parada.

Baca juga: Filipina Merasa Jadi Korban Agresi Tiongkok di Laut China Selatan

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Marcheilla A)