Sekjen ESDM: Transisi Energi Jadi Pijakan Daya Saing

Ilustrasi PLTS. Foto: MI/Ramdani

Sekjen ESDM: Transisi Energi Jadi Pijakan Daya Saing

Annisa Ayu Artanti • 13 January 2024 14:59

Jakarta: Transisi energi menuju energi bersih yang ramah lingkungan merupakan respons bangsa Indonesia terhadap masyarakat global.
 
Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana mengatakan, transisi energi juga bukan semata-mata hanya permasalahan lingkungan saja, namun lebih jauh lagi untuk menjaga daya saing produk dalam negeri dengan negara lain.
 
"Saya mendefinisikan transisi energi dari sisi pemerintah. Menurut kami, menurut ESDM transisi energi ini adalah suatu kebijakan dari pemerintah untuk merespons apa yang terjadi di global. Jadi kita merespons, global itu inginnya seperti ini. Tujuannya adalah untuk tetap menjaga daya saing kita. Jadi saya memberikan planning-nya sesuatu yang sangat umum untuk semua. Bukan keperluannya ESDM, bukan keperluannya lingkungan saja," tutur Dadan dikutip dari laman Kementerian ESDM, Sabtu, 13 Januari 2024.
 
Pemanfaatan produk energi bersih, sambung Dadan, dalam proses produksinya akan menjadi sebuah persyaratan masyarakat global dengan konsekuensi pajak lebih tinggi jika dalam proses produksinya menggunakan bahan bakar yang menghasilkan emisi tinggi.
 
"Kita harus bisa juga bersaing dengan negara-negara lain untuk tetap menjaga market kita, misalkan di Eropa. Asia sekarang mulai menerapkan prinsip-prinsip energi bersih. Jadi, jadi kira-kira tujuan besarnya seperti itu, jangan dibalik. Justru kita mendorong pemanfaatan energi terbarukan, kita ingin meningkatkan daya saing kita,"ujar Dadan.
 

Baca juga: 

Transisi ke Energi Rendah Karbon Jadi Suatu Keharusan

Pajak tinggi

Beberapa negara dilaporkan sudah meminta pajak yang tinggi untuk produk-produk yang terbukti menggunakan bahan bakar yang tidak ramah lingkungan. Sebaliknya yang memiliki sertifikat penggunaan energi bersih untuk menghindari pajaknya.
 
"Saya dengar, Eropa itu akan mulai menerapkan carbon border tax-nya dua tahun lagi. Kan tidak lama, 2026 itu tidak lama untuk sebuah industri memastikan nanti akan bisa masuk ke sana. Nanti misal ada produk dari Indonesia, masuk, diekspor ke sana, ditanya. Maksudnya ditanya itu pasti ada sertifikasi, ada segala macam ini prosesnya menggunakan energinya seperti apa? Karbonnya seperti apa? Ketemu misalkan nih, untuk produknya kalau satu ton menggunakan apa, mengeluarkan emisinya sekian nanti disana ada batas batasnya itu batas maksimumnya sekian, kalau terlewati boleh produknya masuk kesini saya kasih pajak tambahan, sehingga barang yang diproduksi bertambah harganya," jelas Dadan.
 
Dengan ilustrasi itu, lanjut Dadan, maka tentu saja harga produk yang dalam prosesnya menggunakan energi dengan emisi yang tinggi akan lebih mahal harganya dibandingkan dengan produk yang sama namun menggunakan energi yang ramah lingkungan dalam proses produksinya karena perbedaan besaran pajak emisinya.
 
 

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Annisa Ayu)