Ilustrasi industri hasil tembakau. Foto: MI/Panca Syurkani.
Husen Miftahudin • 22 October 2025 21:29
Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa belum lama ini memutuskan tidak ada kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) dan Harga Jual Eceran (HJE) di 2026. Keputusan ini didasarkan dengan mempertimbangkan kondisi yang dialami industri hasil tembakau (IHT) nasional, mulai dari penurunan produksi hingga maraknya peredaran rokok ilegal.
"Kita berharap langkah ini diikuti dengan langkah-langkah selanjutnya, bagaimana merubah arah strategi roadmap (peta jalan) industri pertembakauan di Indonesia untuk ke depan," ungkap Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun dikutip dari keterangan tertulis, Rabu, 22 Oktober 2025.
Misbakhun mengatakan, keberadaan industri kretek ini telah menunjukkan peran penting terhadap perekonomian Indonesia. Industri kretek tersebut memiliki andil besar dalam menggerakkan roda perekonomian.
Industri ini dapat menciptakan efek pengganda karena kemampuannya dalam menyerap tenaga kerja yang besar, mulai dari sektor hulu, yaitu di pertanian, hingga sektor hilir di industri sampai kepada sektor perdagangan, berkontribusi besar dalam menggerakkan perekonomian di daerah.
Ia menegaskan, kretek sebagai produk khas industri hasil tembakau memiliki daya tawar yang tinggi di pasar lokal dan internasional, yaitu untuk kepentingan ekspor. Mayoritas kretek menggunakan bahan baku dari dalam negeri, cengkeh dan tembakau.
Karena itu, industri hasil tembakau menjadi salah satu industri yang mampu memenuhi persyaratan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang sangat tinggi.
"Industri ini cukup mampu menjadi salah satu tulang punggung penerimaan negara, di mana penerimaan cukai, lebih dari 95 persen berasal dari cukai hasil tembakau," beber dia.
(FGD bertajuk 'Harmonisasi Regulasi Menuju Keseimbangan Kebijakan Kretek di Indonesia'. Foto: dok Istimewa)
Ancaman regulasi
Di sisi lain, industri kretek nasional terus menghadapi ancaman regulasi. Terdapat 500 peraturan, mulai dari Undang-Undang sampai kepada Perda, baik fiskal maupun non-fiskal, yang dibuat oleh berbagai instansi di pemerintah, dibebankan pada industri tersebut.
Ketua umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan mengatakan, padatnya aturan (heavy regulated) tersebut memberikan ekses negatif di lapangan, karena aturan tidak incorporated atau lebih menghadapi kepentingan persaingan bisnis global yang masuk melalui agenda Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang disponsori oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO).
"Berbagai aturan internasional yang sarat kepentingan di dalam hukum nasional, baik melalui ratifikasi maupun adopsi ke dalam produk hukum sektoral telah menimbulkan konsekuensi yang serius terhadap kedaulatan bangsa dan perekonomian rakyat," jelas dia.
GAPPRI mencatat, terbitnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, diikuti terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) tentang Peraturan Pelaksanaan UU 17/2023, serta penyusunan draft Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) 2024 tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik sebagai upaya meningkatkan pengawasan dan pengendalian produk tembakau dan rokok elektronik di Indonesia, telah menuai pro dan kontra hingga saat ini.
"Polemik antara kepentingan kesehatan dan posisi strategis IHT dalam perekonomian, seharusnya tidak perlu terjadi. Kami berharap ada ruang dialog lintas stakeholders untuk merumuskan Roadmap (Peta Jalan) kebijakan IHT yang seimbang," kata Henry.
Selain itu, GAPPRI juga merekomendasikan pada pemerintah, adanya kebijakan moratorium tarif CHT dan HJE selama tiga tahun berturut-turut. Kemudian tidak adanya peraturan-peraturan yang memberatkan dan mengganggu pertumbuhan ekonomi.
"Juga adanya relaksasi bagi IHT atas pelunasan pita cukai dari 60 hari menjadi 90 hari, serta adanya perlakuan yang setara antara rokok elektrik dengan rokok konvensional," terang dia.