Presiden Amerika Serikat Donald Trump. The New York Times
Jakarta: Sejak melancarkan serangan besar-besaran ke Gaza pada 7 Oktober 2023, Israel kian terjebak dalam pusaran isolasi internasional. Respons yang disebut “pembalasan” atas serangan kelompok pejuang Palestina Hamas itu telah menewaskan lebih dari 66 ribu orang hingga Minggu, 28 September 2025, di mana sebagian besarnya adalah perempuan dan anak-anak.
Angka korban yang terus membengkak ini menjadi bukti nyata bahwa operasi militer Israel jauh melampaui batas pertahanan diri dan kini dipandang sebagai genosida yang sama sekali tidak dapat dibenarkan.
Tekenan global terhadap Israel semakin kuat ketika Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Selain itu, Mahkamah Internasional (ICJ) juga memproses tuduhan genosida terhadap Israel, memperkuat pandangan bahwa tindakan militer di Gaza bukan sekadar konflik, melainkan pelanggaran serius terhadap hukum internasional.
Gelombang Pengakuan Palestina
Upaya gencatan senjata dan pembebasan sandera yang sesekali tercapai sejak 7 Oktober 2023 tak mampu menghentikan pertumpahan darah. Justru, gelombang pengakuan terhadap Negara Palestina semakin deras, termasuk dari negara-negara Barat.
Pengakuan ini memuncak menjelang dan selama Sidang Majelis Umum PBB 2025, menandai perubahan sikap dunia yang kian menekan Tel Aviv. Netanyahu bereaksi keras, menyebut pengakuan oleh negara-negara tersebut sebagai hadiah untuk Hamas. Kecaman itu tidak menghentikan arus dukungan internasional bagi Palestina.
Puncak isolasi Israel terlihat jelas saat Netanyahu menyampaikan pidato di Sidang Umum PBB: ruangan tampak kosong setelah banyak delegasi memilih walkout sebagai bentuk protes. Sebuah simbol kuat bahwa Israel kini semakin sendirian di panggung dunia.
Dalam kacamata moral dan kemanusiaan, isolasi ini memang sudah seharusnya terjadi. Tudingan genosida yang disampaikan di ICJ bukanlah isapan jempol; korban sipil yang terus berjatuhan memberi dasar kuat bahwa Israel telah melampaui batas kewajaran.
Tekanan global harus terus diperkuat, bukan hanya untuk menghentikan agresi militer di Gaza, tetapi juga untuk memastikan bantuan kemanusiaan dapat menjangkau warga yang terperangkap di wilayah yang porak-poranda.
Proposal 20 Poin Trump
Dalam perkembangan terbaru usai Sidang Majelis Umum PBB, Presiden Amerika Serikat (AS)
Donald Trump mengumumkan proposal 20 poin untuk perdamaian Gaza pada 29 September 2025. Netanyahu berada di Gedung Putih pada saat itu , dan disebut Trump telah menyepakatinya. Hamas dikabarkan telah menerima proposal ini dari mediator.
Proposal Trump di antaranya menyerukan penghentian operasi militer secara langsung, diikuti pembebasan 20 sandera Israel yang masih hidup serta penyerahan jenazah lebih dari dua 24 sandera yang diyakini telah tewas dalam waktu 72 jam. Sebagai imbalannya, Israel akan membebaskan ratusan warga Gaza yang ditahan.
Isi lain dari proposal ini adalah menuntut agar Hamas tidak lagi memiliki peran dalam pemerintahan Gaza; pembentukan Board of Peace; distribusi bantuan oleh lembaga internasional; Israel tidak akan mencaplok Gaza; warga bisa bebas keluar masuk dari Gaza; dialog lintas agama untuk mendorong toleransi dan koeksistensi damai; dan lain-lain.
Bagi Trump, yang kesabarannya soal mengakhiri perang Gaza — dan juga konflik Rusia-Ukraina — sudah mulai menipis, proposal ini bisa jadi merupakan ‘garis merah.’ Bisa jadi Trump akan sangat frustrasi jika proposal 20 poin ini tidak mampu mengakhir perang di Gaza.
Trump pernah terkesan dekat dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, namun saat Kremlin tak juga mau mengakhiri perang di Ukraina, ia pun mulai ‘lelah’ dan berbalik mendukung Ukraina merebut semua wilayahnya dari Moskow. Trump juga menyetujui jika NATO menembak jatuh pesawat Rusia yang melanggar.
Jika proposal 20 poin ini ‘dikhianati’ Netanyahu yang mungkin hanya berpikiran untuk membinasakan Hamas seluruhnya, bukan tidak mungkin Trump akan ikut mengisolasi Israel, seperti yang sudah dilakukan banyak negara saat ini.