Wakil Ketua Umum KSPSI Yorrys Raweyai, Arnod Sihite. Foto: Istimewa.
Anggi Tondi Martaon • 29 September 2025 22:24
Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan buruh tak wajib lagi menjadi peserta Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Kebijakan yang termuat pada Putusan Nomor 96/PUU-XXII/2024 itu disambut baik Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) pimpinan Yorrys Raweyai.
Dalam putusannya, MK menyatakan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera tidak lagi bersifat wajib, melainkan menggunakan kata “dapat”. Wakil Ketua Umum KSPSI Arnod Sihite menilai perubahan ini memberi kepastian hukum sekaligus fleksibilitas bagi pekerja penerima upah untuk memilih apakah ingin ikut Tapera atau tidak.
“Selama ini pekerja diwajibkan menabung 2,5 persen dari gaji, sementara pengusaha juga terbebani 0,5 persen. Padahal manfaat Tapera hanya diperuntukkan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dengan penghasilan di bawah Rp7 juta, dan untuk kepemilikan rumah pertama. Selain itu, imbal hasil tabungan di Tapera pun tidak jelas,” ujar Arnod melalui keterangan tertulis, Senin, 29 September 2025.
Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Percetakan, Penerbitan dan Media Informasi (PPMI KSPSI), juga mengingatkan bahwa pemotongan 2,5 persen gaji pekerja akan berpengaruh langsung pada daya beli. Sebab, kenaikan upah minimum rata-rata hanya 4–5 persen.
"Jika dipotong lagi 2,5 persen, tentu akan mengganggu daya beli pekerja dan keluarganya,” ungkap Arnod.
Dengan adanya putusan MK, pekerja kini dapat memilih program perumahan sesuai kebutuhan. Baik melalui Manfaat Layanan Tambahan (MLT) Perumahan dari Jaminan Hari Tua (JHT) yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan, Tapera, atau bahkan memilih tidak ikut program rumah.
Meski demikian, Arnod menegaskan agar pemerintah tetap mendukung akses buruh terhadap rumah dengan kebijakan yang lebih berpihak. Mulai dari penurunan bunga hingga relaksasi regulasi.
“Jika lewat MLT Perumahan, bunganya sebaiknya BI Rate +1 persen, bukan BI Rate +3 persen. Sementara bagi pekerja yang memilih Tapera dengan skema FLPP, bunganya idealnya ditekan menjadi 3 persen dari sebelumnya 5 persen,” ujar Arnod.
Wakil Ketua Umum KSPSI Arnod Sihite (kanan) saat menghadiri Penandatanganan nota kesepahaman (MoU) pembangunan rumah subsidi untuk buruh di Kantor Kementerian PKP. Foto: Istimewa.
Di sisi lain, anggota Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional itu menyinggung target kuota rumah subsidi buruh yang dinaikkan dari 20 ribu menjadi 50 ribu unit. Menurut dia, angka tersebut belum cukup.
“Dengan target nasional 3 juta rumah per tahun, jatah buruh seharusnya bisa mencapai 100 ribu bukan hanya 50 ribu. Rumah layak adalah kebutuhan dasar pekerja. Pemerintah harus memastikan program ini benar-benar berpihak kepada buruh, bukan sekadar angka di atas kertas,” tegas Arnod.
Dia juga mengingatkan pembangunan rumah buruh harus memperhatikan lokasi. Sehingga, buruh tidak terbebani biaya transportasi lebih tinggi ke tempat kerja.
“Hunian subsidi untuk buruh harus dekat kawasan industri. Kalau dibangun jauh, justru membebani buruh dengan biaya hidup lebih besar,” ujar Arnod.
Selain itu, program Rumah Subsidi tidak hanya menyasar buruh formal. Program tersebut juga harus menargetkan buruh informal yang selama ini terpinggirkan.
“Kalau buruh formal dan informal bisa menjangkau program ini, dampaknya akan besar bagi kesejahteraan pekerja Indonesia,” ujar dia.