Efek Tarif Trump, Ekonomi Dunia Semester II Dikhawatirkan Tak 'Selincah' Paruh Pertama

Ilustrasi. Foto: Freepik.

Efek Tarif Trump, Ekonomi Dunia Semester II Dikhawatirkan Tak 'Selincah' Paruh Pertama

Husen Miftahudin • 12 August 2025 14:11

Jakarta: Ketidakpastian global akibat pemberlakuan tarif resiprokal yang digaungkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kepada hampir seluruh negara di dunia, mulai 1 Agustus 2025, membuat pertumbuhan ekonomi dunia pada semester kedua dikhawatirkan tidak akan 'selincah' semester pertama 2025.
 
Head of Markets Strategy UOB Heng Koon How mengungkapkan, pada paruh pertama tahun ini berjalan cukup baik bagi banyak negara, termasuk di Asia. Dorongan ekspor membuat Singapura mencatat pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) 4,2 persen pada semester pertama, di atas tren. Taiwan bahkan membukukan lonjakan PDB hampir delapan persen pada kuartal kedua.
 
Berkat ketahanan ekonomi Tiongkok, Dana Moneter Internasional atau IMF merevisi proyeksi pertumbuhan PDB negara emerging market 2025 menjadi 4,1 persen dari sebelumnya 3,7 persen.
 
"Namun, data PDB adalah indikator yang sifatnya mundur. Banyak otoritas memperingatkan ke depan hal ini bisa 'berbalik arah', seiring tarif yang lebih tinggi mulai menggigit. Efek penumpukan ekspor sebelum tarif berlaku kemungkinan besar sudah berakhir, dan perekonomian Asia, termasuk Tiongkok, berpotensi menghadapi perlambatan manufaktur," sebut Heng Koon How, dikutip dari analisanya, Selasa, 12 Agustus 2025.
 
Buktinya, indeks PMI manufaktur Tiongkok yang justru turun ke 49,3 pada Juli, berlawanan dengan ekspektasi yang mengarah ke 50. Kondisi ini, sebut dia, menandakan perlambatan sudah mulai terasa.
 
Ekonomi AS juga tumbuh 3,0 persen (yoy) pada kuartal kedua, lebih baik dari perkiraan. "Namun, kini perdebatan sengit muncul: apakah efek negatif dari tarif yang makin tinggi akan benar-benar mulai membebani ekonomi AS pada paruh kedua tahun ini?" tutur dia.
 
Ketua The Fed Jerome Powell mengakui sejauh ini pelaku impor di AS masih bisa menahan beban tarif. Tapi dengan tarif baru yang berlaku per 1 Agustus, beban ini akan semakin sulit dipikul, memicu kenaikan harga konsumen, turunnya permintaan, dan hambatan pertumbuhan ekonomi.
 

Baca juga: Ketidakpastian Tarif Trump Bikin Dunia Ramai-ramai 'Buang Dolar', Ini Penjelasannya


(Presiden AS Donald Trump menunjukan daftar negara-negara dengan besar tarif yang dikenakan. Foto: EPA-EFE/KENT NISHIMURA/POOL)
 

Menanti kesepakatan AS-Tiongkok

 
Di sisi lain, para pelaku pasar tengah menanti kesepakatan dagang terbesar dunia, antara AS dan Tiongkok, yang hingga kini belum juga tercapai. Setelah putaran ketiga perundingan, kedua pihak sepakat memperpanjang pembicaraan 90 hari lagi.
 
Isu yang dibahas pun sensitif, mulai dari akses teknologi kecerdasan buatan (AI) dan semikonduktor untuk Tiongkok, hingga ekspor sumber daya alam langka bumi dan mineral ke AS. Hasil negosiasi ini akan berpengaruh besar pada perekonomian Tiongkok dan prospek ekonomi Asia secara keseluruhan.
 
Jika menggabungkan tarif yang diberlakukan sejak masa pemerintahan Trump pertama hingga pemerintahan Biden, menurut perhitungan Peterson Institute for International Economics (PIIE), rata-rata tarif AS atas impor dari Tiongkok kini mencapai 54,9 persen, sementara rata-rata tarif Tiongkok atas impor dari AS sebesar 32,6 persen.
 
"Angka setinggi ini jelas bukan kabar baik bagi pertumbuhan ekonomi," tukas Heng Koon How.
 
Sementara itu, kesepakatan dagang dengan negara besar lain seperti India, Kanada, dan Brasil tersendat karena isu geopolitik dan kebijakan luar negeri yang tidak terkait langsung dengan perdagangan.
 
Beberapa perjanjian yang sudah diteken pun disertai komitmen investasi jumbo ke AS, misalnya USD350 miliar dari Korea Selatan, USD550 miliar dari Jepang, dan USD600 miliar dari Uni Eropa. Namun, banyak pihak di negara-negara tersebut meragukan dan menolak kesepakatan ini.
 
"Pertanyaannya, dari mana dana sebesar itu akan didapat, dan bagaimana implementasinya? Bukan tak mungkin komitmen ini akhirnya dikurangi atau dibatalkan, yang akan mengguncang kelanjutan perjanjian tersebut," papar dia.
 
Selain itu, masih banyak pertanyaan soal cara penerapan tarif untuk kategori barang tertentu, seperti 'tarif Sektor 232' untuk industri otomotif, semikonduktor, dan farmasi, serta 'tarif transshipment' untuk barang yang dianggap dialihkan melalui negara ketiga demi menghindari bea masuk.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Husen Miftahudin)