Kirim ke Barak Militer, Seberapa Efektif untuk 'Luruskan' Anak Bermasalah?

Ilustrasi boot camp militer untuk anak bermasalah. (Andre F. Chung/Baltimore Sun)

Kirim ke Barak Militer, Seberapa Efektif untuk 'Luruskan' Anak Bermasalah?

Riza Aslam Khaeron • 3 May 2025 12:26

Jakarta: Rencana Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, untuk mengirim anak-anak bermasalah ke barak militer menuai reaksi luas. Wacana ini mencuat sebagai respons atas maraknya tawuran pelajar dan kasus geng motor yang kian meresahkan. Program ini rencananya dimulai Mei 2025, di mana peserta yang terlibat dalam tawuran atau tindakan kriminal akan menjalani pendidikan militer selama enam bulan di bawah pengawasan TNI-Polri.

"Kenapa, coba deh, ukurannya kebijakan ini, sangat disetujui oleh orang tua. Dicek di media sosial siapa yang paling mendukung kebijakan saya, rakyat Jabar. Siapa yang menentang, para elite," ujar Dedi Mulyadi di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa, 29 April 2025. Tapi seberapa efektif model pembinaan ini dalam mengubah perilaku anak-anak bermasalah? Berikut pembahasannya.
 

Efektivitas Program Militeristik: Pro dan Kontra

Secara teori, pendidikan ala militer mengedepankan disiplin, ketaatan, dan struktur. Model ini kerap dipakai dalam pelatihan karakter dengan harapan remaja dapat terbentuk menjadi individu yang patuh dan bertanggung jawab. Pemerintah Jawa Barat menyebut bahwa status siswa tetap aktif di sekolah asal namun akan belajar di kelas khusus di dalam barak.

Namun efektivitas pendekatan ini menuai debat. Mengutip, Sara Bean.—lulusan Universitas Southern Maine, jurusan Master Edukasi—menegaskan bahwa hasil dari program seperti ini sangat beragam.

“Apa yang sebenarnya terjadi adalah bahwa secara umum, program-program ini menghasilkan hasil yang sangat campur aduk,” mengutip artikelnya di laman Empowering Parents.

Masalah utama dari program boot camp adalah tidak adanya pengawasan ketat. Sara mengingatkan, program tersebut sering kali menjadi sarang pelanggaran, kekerasan, dan penyalahgunaan wewenang. Selain itu, banyak program tidak menyertakan terapi atau dukungan psikologis yang dibutuhkan anak-anak bermasalah.

“Program-program yang tidak dipersonalisasi atau dijalankan dengan pendekatan ‘satu model untuk semua’ cenderung gagal,” jelas Sara, mengingatkan bahwa setiap anak memiliki kebutuhan unik. Ia juga mengungkapkan bahwa anak-anak yang mengalami trauma atau korban kekerasan sangat tidak cocok ditempatkan di lingkungan yang keras seperti barak militer karena dapat memperburuk kondisi psikologis mereka.

Sara Bean menekankan bahwa program yang menggunakan pendekatan terapi perilaku kognitif (Cognitive Behavioral Therapy/CBT) cenderung lebih berhasil. CBT membantu anak mengubah cara berpikir yang salah dan belajar mengelola perilaku mereka dengan lebih efektif. Namun, banyak boot camp militer tidak mengintegrasikan terapi semacam ini dan hanya berfokus pada kedisiplinan fisik.
 
Baca Juga:
Dedi Mulyadi: Orang Tua Harus Serahkan Langsung Anak ke Barak Militer
 

Bukan Hanya Latihan Fisik, Dinamika Keluarga Harus Dibena

Menurut Sara, perubahan positif yang mungkin terjadi selama di barak tidak selalu berkelanjutan setelah anak kembali ke rumah. Banyak orang tua berharap anak “sembuh” begitu keluar dari program, padahal tanpa perubahan struktur keluarga dan pola pengasuhan di rumah, anak bisa kembali ke pola lama.

"Banyak orang tua menelepon Support Line dan berkata, ‘Saya mengirim putri saya ke program boot camp musim panas lalu. Ia mengalami pengalaman luar biasa, tetapi dalam minggu pertama setelah pulang ke rumah, perilaku buruknya kembali. Saya habis-habisan secara finansial untuk mengirimnya ke sana. Apa yang harus saya lakukan sekarang?'" tulis Sara.

“Anak Anda bukan kamera digital yang bisa Anda kirim ke bengkel dan kembali dalam kondisi baik. Anda harus mengubah dinamika dalam keluarga jika ingin melihat hasil,” tegasnya. Ia juga menyarankan agar orang tua mendapatkan pelatihan dan dukungan saat anak sedang berada di program agar transisi ke rumah berjalan efektif.

Program pembinaan anak bermasalah di barak militer bisa menjadi solusi sementara untuk membentuk disiplin dan menjauhkan anak dari lingkungan negatif. Namun, efektivitas jangka panjangnya sangat bergantung pada kualitas pelaksanaan, kejelasan pendekatan psikologis, dan keterlibatan keluarga.

“Yang paling penting adalah rencana ketika anak kembali ke rumah.” ujar Sara.

Tanpa tindak lanjut yang memadai, harapan agar anak berubah bisa jadi hanya ilusi sesaat. Penelitian dan praktik terbaik menunjukkan bahwa keberhasilan program semacam ini hanya dapat dicapai bila dirancang secara holistik, dipersonalisasi, diawasi ketat, dan melibatkan keluarga secara aktif.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Surya Perkasa)