Pertemuan Vladimir Putin dan Xi Jinping di Moskow, Rusia. Foto: Xinhua
Fajar Nugraha • 9 May 2025 13:53
Moskow: Pada Kamis malam, 8 Mei 2025, Presiden Rusia, Vladimir Putin, menjadi tuan rumah bagi Presiden Tiongkok Xi Jinping dalam sebuah parade militer di Moskow untuk memperingati 80 tahun berakhirnya Perang Dunia II di Eropa atau Victory Day.
Momen ini disertai penandatanganan pernyataan bersama yang menegaskan komitmen kedua negara untuk "memperdalam kemitraan strategis komprehensif dalam kerja sama di era baru antara Tiongkok dan Rusia."
Pertemuan ini berlangsung tiga tahun setelah invasi Rusia ke Ukraina yang memicu perang paling mematikan di Eropa sejak 1945. Di saat bersamaan, Presiden Taiwan Lai Ching-te memperingati hari yang sama dengan memberikan pernyataan tajam yang membandingkan ancaman perdamaian global dari Rusia dan Tiongkok.
“Otoritarianisme dan agresi hanya akan menghasilkan pembantaian, tragedi, dan ketimpangan yang lebih besar,” ujar Lai kepada para diplomat di Taipei, seperti dikutip RFA, Jumat 9 Mei 2025.
Ia menegaskan bahwa Taiwan dan Eropa kini menghadapi “ancaman dari blok otoriter baru.”
Pertemuan Xi dan Putin mempertegas solidaritas keduanya sejak 2022 sebagai yang mereka sebut persahabatan “tanpa batas.” Hanya beberapa hari setelah deklarasi itu diumumkan, Rusia melancarkan invasi ke Ukraina, yang oleh banyak pihak dianggap sebagai bentuk penolakan terhadap hukum internasional.
Meskipun Tiongkok menghindari memberikan dukungan diplomatik atau militer secara terbuka, pihaknya tetap menyediakan jalur ekonomi penting bagi Moskow dalam menghadapi sanksi dari Barat.
Tiongkok di bawah Xi menghadapi tekanan dari Barat, karena negara itu kini terkunci dalam perang tarif yang dilancarkan oleh Presiden AS Donald Trump. Pemimpin Tiongkok itu secara terselubung merujuk ke Amerika Serikat dalam sambutannya pada hari Kamis.
Dalam pidatonya pada Kamis lalu, Xi secara tersirat mengkritik Amerika Serikat yang kini sedang perang tarif terhadap kebijakan perdagangannya. “Tiongkok dan Rusia harus menjadi sahabat sejati yang telah melewati ratusan ujian,” ujar Xi.
Ja Ian Chong, profesor madya di Universitas Nasional Singapura, menyatakan bahwa lebih dari 20 perjanjian yang ditandatangani kedua pemimpin tersebut menunjukkan baik Tiongkok maupun Rusia saling membutuhkan.
Selain itu, Sung Kuo-Chen, peneliti dari Pusat Hubungan Internasional di Universitas Nasional Chengchi, Taiwan, menilai Xi khawatir terhadap Donald Trump. “Xi sangat khawatir jika Trump kembali berkuasa dan mencoba merangkul Putin untuk mengisolasi Tiongkok,” ujarnya kepada RFA.
“Inilah mengapa Xi berusaha memperkuat kembali hubungan strategisnya dengan Rusia,” pungkas Sung.
(Nada Nisrina)