Konferensi Nasional Hukum Pidana 2025 di Surabaya, Jawa Timur, kemarin. Foto: Dok FH Unair
Wandi Yusuf • 16 July 2025 17:11
Jakarta: Sejumlah akademisi menilai draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang saat ini dibahas di DPR menghilangkan makna norma progresif Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Selain itu, rancangan yang dibahas DPR dan pemerintah ini dinilai masih problematis secara konseptual.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro, Pujiyono, mengatakan pendekatan formalisme yang digunakan pada RKUHAP mengabaikan aspek perlindungan hak. Rancangan itu pun tak memberikan pemulihan terhadap pelanggaran prosedur.
"RKUHAP juga tidak sensitif terhadap keadilan korban. Jika diteruskan, norma progresif yang sudah diakomodasi dalam KUHP bisa kehilangan makna," kata Pujiyono melalui keterangan tertulis, Rabu, 16 Juli 2025.
Dia menambahkan RKUHAP harus menjamin perlindungan hukum bagi semua pihak, terutama warga negara yang berhadapan dengan proses pidana. Salah satunya menerapkan sistem informasi berbasis teknologi yang harus diterapkan sejak laporan polisi hingga tahap penyelidikan dan penyidikan.
"Mekanisme ini diharapkan dapat membangun transparansi dan akuntabilitas dalam kerangka single prosecution platform (SPP) yang sedang dikembangkan,” kata Pujiyono.
Pernyataan Pujiyono ini disampaikan dalam Konferensi Nasional Hukum Pidana 2025 bertema Politik Hukum dalam Pembaharuan Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana Indonesia: Membangun Sistem Hukum Yang Berkeadilan dan Berperspektif HAM. Diskusi diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH Unair) bekerja sama dengan Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Asperhupiki) di Surabaya, Jawa Timur, kemarin.
Baca:
KPK Nilai Revisi KUHAP Melemahkan Pemberantasan Korupsi |