Jakarta: Tidak hanya Arab Saudi, banyak negara yang sukses memberikan porsi besar terhadap pihak swasta dalam penyelenggaraan haji. Seperti Malaysia, Turki, dan Pakistan. Indonesia juga dapat mempertimbangkan pelibatan swasta yang teregulasi untuk meningkatkan kualitas layanan.
Dari 80.000 kuota haji yang dimiliki Turki, sebanyak 60% dialokasikan ke pihak swasta. Sementara Pakistan, dari 179.000 kuota haji setiap tahunnya, sebanyak 50% dikelola swasta. Di Malaysia, swasta juga diberikan porsi 20%, sedangkan Indonesia, dari 210.000 kuota haji, hanya 8% yang dipercayakan kepada pihak swasta dengan istilah Haji Khusus.
Dalam draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Haji dan Umrah yang sedang dibahas di DPR RI saat ini, Pasal 8 ayat (4) disebutkan bahwa kuota haji khusus paling tinggi 8%. Hal ini merupakan kemunduran dibandingan Undang-Undang (UU) No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah pasal 64 ayat (2) bahwa kuota haji khusus ditetapkan sebesar 8%.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (DPP AMPHURI), Firman M Nur, mengatakan amandemen UU Haji dan Umrah harus dapat memenuhi harapan masyarakat agar tata kelola haji kedepan jauh lebih baik. Selain itu, UU Haji dan Umrah hasil amandemen nanti harus sejalan dengan kondisi di Arab Saudi.
"Karena haji sangat related dengan Arab Saudi. Kita harus melihat bahwa Arab Saudi dengan Visi 2030 memiliki tata kelola yang jauh lebih baik dan modern dengan digital. Namun disisi lain, mereka memberikan proporsi penyelenggaraan ke pihak swasta yang sangat kuat. Kami harapkan, itu sejalan juga di Indonesia," kata Firman dalam acara "Media Gathering AMPHURI" di Kantor DPP AMPHURI, Jakarta Selatan, Jumat, 1 Agustus 2025.
Sidang paripurna DPR RI, 24 Juli 2025 lalu, telah menyepakati draft RUU Haji dan Umrah. Dari 8 fraksi di DPR RI, hanya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) yang dalam pendapatnya menyebut kuota haji khusus maksimal 8%. Sedangkan 7 fraksi lainnya, sama sekali tidak menyebut pembatasan kuota haji khusus.
AMPHURI menilai bahwa frasa "paling tinggi" pada draft RUU Haji dan Umrah dalam penetapan kuota haji khusus bersifat elastis, tidak mengikat, dan rawan dimanipulasi. Hal ini menciptakan ketidakpastian hukum dan mengancam keberlangsungan layanan haji khusus yang telah terbukti berjalan baik selama lebih dari satu dekade.
Fakta menunjukkan bahwa realisasi kuota haji khusus selama ini berkisar 8% dan dikelola oleh PIHK secara profesional, tanpa gangguan berarti terhadap penyelenggaraan haji nasional. Maka pengurangan kuota secara sepihak tanpa dasar objektif dan evaluative, merupakan bentuk pembatasan hak jamaah untuk memilih layanan ibadah yang sah dan berkualitas.
"AMPHURI merekomendasikan agar ketentuan ini diubah menjadi: 'Kuota haji khusus ditetapkan sekurang-kurangnya 8% dari kuota nasional.' Dengan rumusan tersebut, negara tetap memiliki ruang pengawasan, namun memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi jamaah dan penyelenggara," tegas Firman.