Ilustrasi PLTU. Foto: MI/Ramdani.
Media Indonesia • 3 August 2023 20:21
Jakarta: Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan Peraturan OJK Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon yang menjadi dasar penyelenggaraan bursa karbon di Indonesia.
Beleid tersebut secara resmi diundangkan setelah mendapatkan penomoran dari Kementerian Hukum dan HAM hari ini.
"OJK telah menerbitkan POJK 14/2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon yang mengatur persyaratan, perizinan, serta tata cara penyelenggaraan perdagangan karbon melalui perusahaan karbon di Indonesia," ujar Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Mirza Adityaswara dalam konferensi pers dilansir Media Indonesia, Kamis, 3 Agustus 2023.
Untuk melengkapi POJK tersebut, sebelumnya otoritas telah melakukan penandatanganan nota kesepahaman dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengenai perluasan kerja sama.
Di dalamnya juga disepakati mengenai penguatan koordinasi pelaksanaan tugas dan fungsi kedua pihak di bidang keuangan berkelanjutan mengenai penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK).
Hal itu, kata Mirza, menjadi landasan hukum pertukaran dan pemakaian data perdagangan karbon melalui SRNPPI atau Sistem Registrasi Nasional Pengendalian Perubahan Iklim, sehingga pelaksanaannya dapat dilakukan sesuai dengan standar dan prosedur yang berlaku.
"Kerangka pengaturan dan infrastruktur perdagangan karbon tersebut merupakan bagian yang tidak terpisah dari proses persiapan operasionalisasi bursa karbon di tahun ini," tuturnya.
Di kesempatan yang sama Anggota Dewan Komisioner merangkap Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK Inarno Djajadi menyatakan pihaknya optimistis penyelenggaran bursa karbon dapat terlaksana seperti rencana, yakni mulai September 2023.
"Kita cukup optimis penyelenggaraan di September. Ini masih on track. Tentu dengan kita telah ada POJK 14/2023 kita bisa menunjuk penyelenggaranya siapa dalam waktu dekat. Itu kita tunggu saja, karena dengan POJK tersebut, kalau ada yang berminat silakan mendaftar," kata dia.
Kehadiran bursa karbon, lanjut Inarno, akan mendukung pencapaian target pengurangan emisi Indonesia yang telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.
Selain itu, terdapat Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon yang menjadi aturan turunan dari Perpres Nomor 98 Tahun 2022.
Dalam beleid itu, Indonesia menargetkan mampu mengurangi emisi karbon hingga 31,89 persen dengan usaha sendiri di 2030 dan pengurangan emisi hingga 43,2 persen dengan dukungan internasional. Namun, Inarno memastikan bursa karbon bukan satu-satunya alat untuk mencapai target tersebut.
"Jadi ada beberapa tools, diantaranya adalah perdagangan karbon, itu salah satunya. Meliputi perdagangan emisi karbon (Emissions Trading Scheme), dan juga SPEGRK (Sertifikasi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca) atau offset GRK. Itu yang diperdagangkan, jadi ini bukan satu-satunya tools. Lalu ada juga ada tax dan RBP (Risk Based Payment)," jelas Inarno.
Dia menambahkan, dengan banyaknya skema yang diterapkan itu, bisa jadi harga karbon di Indonesia akan cukup kompetitif dan bersaing dengan negara-negara maju. Sebab, berdasarkan peninjauannya, negara yang menggunakan skema ETS dan pajak karbon cenderung memiliki nilai karbon lebih tinggi.
"Ini adalah studi empirik, dalam USD per ton CO2 equivalent, (yang) tertinggi adalah yang menerapkan bursa karbon dan pajak karbon, beberapa di antaranya adalah EU ETS, Swiss, dan UK ETS," jelasnya.