Senator Papua Barat sekaligus Ketua Pansus Papua Filep Wamafma mengatakan di tengah ketegangan di Nduga Papua saat ini, Papua juga menyimpan risiko rasial jelang dan setelah pemilihan umum. Sehingga peran penyelenggara pemilu yang independen menjadi kunci untuk meredam potensi kerusuhan di Papua.
“Papua itu punya ancaman politik praktis itu adalah banyak orang yang ingin jadi anggota DPR baik kabupaten, provinsi, pusat. Jadi potensi gesekannya kencang di sana khususunya pada saat perhitungan perolehan suara,” ujarnya, Kamis (20/4).
Menurutnya salah satu yang menjadi pemicu terjadinya kericuhan di Papua di tahun politik yakni masyarakat asli Papua yang dinilai terdiskiriminasi dalam persaingan dalam pemilu.
Penduduk asli papua dibandingkan dengan pendatang jumlahnya lebih kecil sehingga praktek keterwakilan di DPRD kabupaten, provinsi dan pusat masih didominasi oleh masyarakat nonpapua.
“Ini akan menjadi semacam pemicu kebencian kenapa kalian (pendatang) mau jadi anggota DPR orang papua kenapa tidak. Ini akan jadi ancaman baru. Ketika orang tidak percaya seperti itu dan KPU tidak bekerja secara independen tentu muncul pandangan diskriminasi terhadap negara maka dampaknya melampiaskannya dalam bentuk kerusuhan atau tidak kekerasan dan itu menganggu stabilitas,” paparnya.
Sementara itu terkait dengan konflik yang terus terjadi di Papua menurutnya juga disebabkan oleh dinamika politik yang tidak pernah tuntas. Padahal pemerintah tidak kurang memilki banyak hasil riset dan kajian dari berbagai ahli dalam upaya menyelesaikan konflik di Papua.
“Kita memiliki orang pandai tapi tidak pernah selesai konflik di papua padahal kita punya referensi yang sangat banyak dalam penyelesaiaan konflik, seperti di aceh pemerintah bisa melibatkan negara lain yang terlibat dalam menyelesaikan konflik dan sebagai mediator dan sekarang selesai”
Upaya pemerintah dalam menyelesaikan konflik di tanah Cendrawasih seharusnya tidak lagi menggunakan pendekatan militer. Pendekatan infrastruktur yang dilakukan secara masif oleh Presiden Joko Widodo tidak boleh melupakan persoalan lain yang sudah bertahun-tahun mengakar salah satunya terkait hak asasi manusia dan dikriminasi.
“Bukan salah konsep menyelesainkan konflik papua tapi konsep di papua itu tidak tuntas kajiannya atau kajiannya dengan pendekatan infrastruktur dan kesejahteraan ekonomi tapi juga tidak boleh mengabaikan aspek penting lainnya. Perbedaan dan perhatian yang kurang oleh pemerintah. Sekarang harus evaluasi jangan karena sudah bangun jalan dan jembatan kemudian jadi tujuan utama. Jangan membedakan warga negara papua ini membutuhkan komitmen, niat karena papua punya pengalaman sejarah yang panjang,” paparnya.
Filep mencontohkan salah satu yang pernah dilakukan oleh presiden sebelumnya Abdurahman Wahid yang mengembalikan indentitas masyarakat Papua yang hilang sejak era orde baru. Identitas warga papua dikembalikan dari sebelumnya disebut Irian Jaya.
“Hal ini yang sebetulnya tidak dipahami oleh presiden lain pada era Susilo Bambang Yudoyono membangun nilai keagamaan saat itu hanya saja tidak terekspos tapi dia memiliki tempat yang baik di Papua. Jokowi sekarang lebih kepada infrastruktur tapi nilai kemanusian tidak, tetap saja pasukan militer datang,” tukasnya.