Efektivitas Satgas Judi Online Diragukan Bila Tak Ada Aksi Nyata

Ilustrasi. Medcom.id

Efektivitas Satgas Judi Online Diragukan Bila Tak Ada Aksi Nyata

Siti Yona Hukmana • 14 June 2024 15:05

Jakarta: Pemerintah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Judi Online yang diketuai Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto. Efektivitas Satgas Judi Online diragukan bila tak dibarengi aksi nyata.

"Tanpa ada aksi nyata, Satgas Judi Online tentu hanya akan menambah deret kegagalan-kegagalan pembentukan Satgas lainnya," kata pengamat kepolisian Bambang Rukminto dalam keterangan tertulis, Jumat, 14 Juni 2024.

Bambang memandang pembentukan Satgas Judi Online seolah menjadi angin surga bagi upaya pemberantasan judi online yang lebih serius. Tetapi, semua tergantung implementasi di lapangan.

"Bila tidak ada aksi yang konkret, tentu akan menjadi blunder. Pembentukan satgas tentu bukan hanya untuk gagah-gagahan saja, tetapi diharapkan beraksi nyata," ujar Bambang.

Bambang menyebut upaya pemberantasan judi online juga hanya menjadi tabuhan genderang tanpa ada aksi perang yang sebenarnya. Bahkan, memakan korban dari aparatur negara yang seharusnya melakukan pemberantasan.

Seperti yang menimpa anggota Polres Jombang Briptu Rian Dwi Wicaksono (RDW). Rian tewas usai dibakar istri yang juga seorang anggota Polri Briptu Fadhilatun Nikmah (FN) di Asrama Polisi Mojokerto, Sabtu, 8 Juni 2024. Anggota Polwan Polres Mojokerto itu naik pitam setelah tahu uang habis untuk judi online.

Bambang tak bisa memungkiri ada kesulitan dalam memberantas judi online. Terutama soal karakteristik teknologi online atau siber yang borderless, lintas batas dan lintas negara, dengan kecepatan perubahan serta produksi konten yang sangat tinggi.

Namun, judi online diyakini tak lepas dari transaksi keuangan menggunakan platform-platform yang masih bisa terkendali dan berizin. Dia meminta aparat penegak hukum menutup transaksi pelaku sebagai langkah pertama yang serius dalam pemberantasan judi online. 

"Karena kecepatan menutup konten, ternyata tak mengalahkan produksi konten judol," ucap Bambang.
 

Baca Juga: 

Polda Metro Buka Alasan Kendala Berantas Judi Online


Bambang melanjutkan data terkait aliran keuangan judi online sudah lama diketahui PPATK. Tetapi, dia melihat tindak lanjut penegakan hukum selama ini belum lebih serius. Menurut dia, hal itu terbukti dari bandar-bandar besar yang belum ditangkap dan platform konten judi online yang masih terang-terangan di media online.

"Penangkapan hanya operator-operator maupun konsumen di level bawah. Transaksi yang dilakukan bandar besar belum tersentuh. Transaksi Rp327 triliun yang pernah diungkapkan PPATK tidak ditindaklanjuti dengan serius," tutur dia.

Selain itu, Direktorat Siber Polri masih menyasar konsumen, tak pernah menyentuh pengelola platform judi online. Hal itu dinilai berakibat munculnya persepsi ada keterlibatan aparat penegak hukum sebagai beking bandar judi online.

"Isu konsorsium 303 yang menyeret nama-nama petinggi kepolisian, nyaris tak pernah terkonfirmasi kebenarannya oleh otoritas Polri. Isu dibiarkan mengambang seolah dibiarkan sampai publik melupakan karena ditimpa isu-isu lain yang lebih sensional," beber dia.

Kemudian, upaya menjerat pelaku judi online dengan KUHP dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tak membuat efek jera. Pasalnya, pada Pasal 303 KUHP hukuman terhadap pelaku hanya maksimal 10 tahun penjara dan denda maksimal Rp25 juta.

Harusnya, kata dia, bandar juga dijerat Pasal terkait Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Dengan hukuman penjara 15 tahun dan denda maksimal Rp2 miliar.

"Tetapi itu saja tentu tak cukup membuat jera. Makanya, perlu segera diterbitkan undang-undang terkait perampasan aset hasil kejahatan," ujar Bambang.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Achmad Zulfikar Fazli)