Ahli Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga Surabaya, Hardjuno Wiwoho
Whisnu Mardiansyah • 12 December 2024 19:38
Surabaya: Wacana penerapan mekanisme Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB), atau perampasan aset tanpa pemidanaan melalui pengesahan RUU Perampasan Aset terus mengemuka. Padahal, masyarakat memandang instrumen UU Perampasan Aset sebagai langkah strategis untuk memulihkan kerugian negara akibat tindak pidana korupsi, terutama dalam kasus di mana pelaku sulit dijerat melalui proses hukum pidana konvensional.
Ahli Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga Surabaya, Hardjuno Wiwoho, terus mendorong political will DPR agar segera mengesahkannya RUU Perampasan Aset tersebut menjadi UU. Meski demikian, dia mengaku implementasi NCB di Indonesia tidak mudah karena membutuhkan keberanian politik dan kolaborasi yang nyata dari DPR.
Menurutnya, DPR harus segera mengambil langkah konkret dengan mengundang para ahli hukum, organisasi masyarakat sipil, dan publik untuk merumuskan regulasi yang matang dan dapat diterapkan secara efektif. Hardjuno menekankan pentingnya rancangan regulasi khusus untuk NCB, terpisah dari kerangka hukum pidana seperti UU Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
“Jika digabungkan dengan UU Tipikor, akan terjadi tumpang tindih yang berpotensi menghambat implementasi NCB,” ujarnya di Surabaya, Kamis, 12 Desember 2024.
Dia menilai, aturan khusus akan memberikan kejelasan hukum dan memudahkan implementasi, terutama untuk kasus-kasus di mana pelaku tidak dapat dituntut secara pidana karena meninggal dunia atau kurangnya alat bukti.
Baca: PDIP Dorong Prabowo Terbitkan Perppu Jika RUU Perampasan Aset Memang Mendesak |