Masyarakat Myanmar menggunakan hak pilih mereka dalam pemilihan umum pada Minggu, 28 Desember 2025. (Anadolu Agency)
Pemilu Myanmar Resmi Dimulai, Pertama Sejak Kudeta Militer 2021
Willy Haryono • 28 December 2025 14:07
Naypyidaw: Di tengah bayang-bayang perang saudara dan keraguan atas kredibilitas prosesnya, masyarakat Myanmar mulai memberikan suara mereka dalam pemilihan umum yang dimulai pada Minggu. Ini merupakan pemilu pertama sejak kudeta militer pada 2021 menggulingkan pemerintahan sipil terakhir.
Junta militer yang sejak itu memerintah Myanmar menyatakan pemilu ini sebagai peluang awal baru secara politik dan ekonomi bagi negara Asia Tenggara yang miskin tersebut. Namun pemilu itu dikritik sejumlah pihak, termasuk PBB, sejumlah negara Barat, dan kelompok hak asasi manusia sebagai proses yang tidak bebas, tidak adil, dan tidak kredibel, terutama karena partai-partai anti-junta tidak ikut bertarung.
Peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi, yang digulingkan beberapa bulan setelah partainya, National League for Democracy (NLD), menang telak dalam pemilu 2020, masih ditahan. Partai yang ia pimpin hingga berkuasa itu juga telah dibubarkan.
Parlemen Akan Memilih Presiden
Tak lama setelah tempat pemungutan suara dibuka pukul 06.00 waktu setempat (06.30 waktu Thailand), pemilih mulai berdatangan ke sejumlah TPS di kota-kota terbesar, Yangon dan Mandalay, menurut saksi dan media lokal.Kepala junta Min Aung Hlaing memberikan suara di ibu kota Nya Pyi Taw dengan pengamanan ketat. Foto-foto yang dipublikasikan media pro-militer menunjukkan ia mengacungkan jari kelingking bertinta, tanda telah mencoblos. Pemilih diwajibkan mencelupkan jari ke tinta permanen untuk mencegah pencoblosan ganda.
Ketika ditanya apakah ia ingin menjadi presiden, jabatan yang menurut analis ia incar, Min Aung Hlaing mengatakan dirinya bukan pemimpin partai politik. “Ketika parlemen bersidang, ada proses untuk memilih presiden,” ujarnya.
Partai Pro-Militer Diunggulkan
Kudeta terhadap pemerintahan NLD memicu protes massal yang kemudian ditumpas secara brutal. Banyak pengunjuk rasa lalu mengangkat senjata melawan junta, memicu pemberontakan berskala nasional.Dalam pemilu kali ini, Union Solidarity and Development Party (USDP) yang berhaluan pro-militer, dipimpin pensiunan jenderal dan mengajukan sekitar seperlima dari total kandidat, diperkirakan kembali berkuasa di tengah persaingan yang melemah, kata Lalita Hanwong, dosen dan pakar Myanmar di Universitas Kasetsart, Thailand.
“Pemilu junta dirancang untuk memperpanjang cengkeraman kekuasaan militer atas rakyat,” ujarnya. “USDP dan partai-partai sekutu militer akan bergabung membentuk pemerintahan berikutnya.”
Setelah fase awal pada Minggu, dua putaran pemungutan suara lanjutan dijadwalkan pada 11 Januari dan 25 Januari, mencakup 265 dari 330 township di Myanmar. Namun, junta tidak sepenuhnya menguasai seluruh wilayah tersebut karena pertempuran masih berlangsung sejak kudeta. Jadwal penghitungan suara dan pengumuman hasil belum diumumkan.
Kepala HAM PBB Volker Turk pekan lalu mengatakan pemilu digelar dalam lingkungan kekerasan dan represi. Warga di kota-kota besar menyebut tidak ada antusiasme seperti kampanye pemilu sebelumnya, meski mereka juga tidak melaporkan paksaan langsung untuk memilih.
Klaim Jalan Menuju Masa Depan Lebih Baik
Junta menegaskan pemilu menjadi jalan keluar dari konflik, merujuk pada pemilu pro-militer sebelumnya—termasuk pada 2010—yang menghasilkan pemerintahan semi-sipil dan melahirkan sejumlah reformasi. Untuk pertama kalinya, pemungutan suara menggunakan lebih dari 50.000 mesin pemungutan suara elektronik yang, menurut komisi pemilihan bentukan junta, akan mempercepat penghitungan dan meniadakan kecurangan.Media pemerintah melaporkan pengamat pemilu dari Rusia, Tiongkok, Belarusia, Kazakhstan, Kamboja, Vietnam, Nikaragua, dan India telah tiba menjelang pemungutan suara. Meski demikian, upaya junta membangun pemerintahan stabil di tengah konflik luas dinilai berisiko tinggi, dan pengakuan internasional signifikan dianggap kecil bagi pemerintahan yang dikendalikan militer meski berwajah sipil.
Juru bicara junta Zaw Min Tun mengakui akan ada kritik dari komunitas internasional. “Namun dari pemilu ini, akan ada stabilitas politik,” katanya setelah mencoblos di Nya Pyi Taw. “Kami percaya akan ada masa depan yang lebih baik.”
Baca juga: Myanmar Tetapkan Putaran Final Pemilu Berlangsung pada Akhir Januari