Dewan Redaksi Media Group Gaudensius Suhardi. (Ebet)
Media Indonesia • 29 September 2025 09:07
TANGIS itu pecah di depan kamera. Nanik S Deyang, Wakil Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), menyeka air mata sambil berkata, “Saya juga seorang ibu.” Ia meminta maaf.
Deyang meminta maaf secara terbuka dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat, 26 September 2025. Meminta maaf karena ribuan anak terkapar setelah menyantap makan bergizi gratis (MBG).
Mulai Januari hingga 25 September 2025, menurut catatan BGN, terdapat 70 kasus keamanan pangan dengan 5.914 korban. Kasus terbanyak terjadi pada Agustus dengan sembilan kasus dan 1.988 korban serta September dengan 44 kasus dan 2.210 korban.
Dalam tragedi sebesar itu, air mata tidak cukup. Yang dibutuhkan ialah regulasi yang kukuh, sistem pengawasan yang ketat, dan komitmen negara untuk melindungi anak-anak dari bahaya yang seharusnya bisa dicegah.
Bangsa ini sesungguhnya membutuhkan kompetensi sebelum tragedi. Bukan air mata. Meski demikian, kita apresiasi langkah sigap pemerintah membentuk tim khusus untuk melakukan evaluasi.
Melakukan investigasi atas keracunan MBG jauh lebih bijak ketimbang meraba-raba penyebabnya. Ada pejabat yang menyebut penyebabnya ialah belum terbiasa mengonsumsi menu MBG. Ada pula yang menduga siswa makan tidak pakai sendok.
Tim investigasi diketuai Deyang. Saat jumpa pers pada 22 September 2025, Deyang menjelaskan hasil investigasi timnya akan menjadi second opinion sambil menunggu hasil dari Badan POM.
Badan POM sudah mengendus akar penyebab keracunan pangan pada program MBG. Kepala Badan POM Taruna Ikrar memaparkan persoalan itu dalam rapat dengan Komisi IX DPR pada 21 Mei 2025.
Beberapa potensi penyebab keracunan, kata Taruna, ialah kontaminasi silang, baik dari bahan mentah, lingkungan, maupun penjamah pangan selama proses pengolahan pangan. Potensi lain ialah pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri karena ketidaksesuaian suhu dan waktu penyiapan serta kondisi dan proses pengolahan pangan.
Meski akar masalah keracunan sudah diketahui, pengawasan tidak dilakukan secara ketat. Temuan BGN dari serangkaian kasus keracunan itu menyebut pemicunya ialah bakteri, seperti E coli yang ada pada nasi, tahu, air, dan ayam. “Berarti pengawasan masih kurang,” kata Deyang pada Jumat.
Program MBG yang dimulai sejak 6 Januari 2025 harus berjalan. Itu program yang baik, sejalan dengan studi World Bank pada 2024. Disebutkan, pemberian makan bergizi dapat meningkatkan tingkat kehadiran, tingkat partisipasi, serta mengurangi malagizi atau stunting.
Anak-anak Indonesia membutuhkan MBG karena mereka menghadapi berbagai tantangan gizi seperti wasting (2,4%), underweight (6,8%), overweight (10,8%), obesitas (9,2%), dan anemia (26,8%). Persoalan gizi berdampak pada kesehatan, pertumbuhan, serta perkembangan fisik dan kognitif anak.
Penanggung jawab MBG ialah Badan Gizi Nasional. Badan itu dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2024. Pasal 3 menyebutkan BGN punya tugas melaksanakan pemenuhan gizi nasional. Sejauh ini belum ada regulasi terkait dengan MBG.
Hasil penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyebutkan MBG belum diatur secara jelas dalam kerangka peraturan tertentu, seperti undang-undang dan peraturan presiden. Hal itu menyebabkan belum jelasnya pembagian peran antarlembaga.
Setali tiga uang, hasil penelitian Althaf Gauhar Auliawan dan Windy Harsiwi dari Universitas Diponegoro juga menyarankan perlu adanya regulasi yang jelas sebagaimana program kyushoku di Jepang yang sudah berjalan selama lebih dari 100 tahun.
Regulasi tersebut diharapkan mampu menjelaskan secara terperinci bagaimana tata kelola dan sistem operasional program MBG di Indonesia. Termasuk bagaimana standar gizi makanannya, standar kebersihan, keamanan pangan, sistem dapur, jenis bahan, pengemasan, hingga bagaimana distribusi makanannya.
Badan Keahlian DPR mencatat, di beberapa negara, penyediaan makanan bergizi di sekolah telah diatur melalui undang-undang. Misalnya, di Amerika Serikat terdapat National School Lunch Act 1946, di Jepang ada Shokuiku Kihon Ho 1954, di Finlandia Perusopetuslaki 1998, di Brasil Lei No 11,947/2009, di Swedia Skollagen 2010, di India National Food Security Act 2013, dan di Inggris ada Children and Families Act 2014.
Kita berharap, sangat berharap, MBG sukses dijalankan di Indonesia. Karena itu, sangat mendesak pembuatan undang-undang terkait dengan MBG sebab program itu memakan biaya selangit.
APBN 2025 menganggarkan Rp71 triliun. Tahun depan disiapkan Rp335 triliun. Anggaran yang besar itu mestinya mampu meningkatkan gizi siswa. Jangan biarkan makan bergizi gratis menjadi makan beracun gratis.
Dalam setiap piring yang disajikan program MBG, ada masa depan anak-anak yang dipertaruhkan. Sepiring makanan itu bisa berubah menjadi ancaman jika tidak ditopang regulasi yang kukuh dan pengawasan yang ketat. Tangis empati dari pejabat pun tidak akan menyembuhkan luka anak-anak yang keracunan.
(
Dewan Redaksi Media Group Gaudensius Suhardi)