M Sholahadhin Azhar • 3 September 2025 12:12
Jakarta: Penggunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), diharap sesuai norma. Yakni, sesuai filosofi dibentuknya aturan tersebut.
"Filosofi UU ITE itu sebenarnya untuk mengamankan transaksi-transaksi keuangan dan kejahatan dokumen elektronik, bukan memenjarakan orang, apalagi kalau terkait politik," kata penerima amnesti dari Presiden Prabowo, Y Paongan alias Ongen, dalam keterangan tertulis, Rabu, 3 September 2025.
Hal tersebut diungkap Paongan, merespons konsekuensi hukum bagi Silfester Matutina. Silfester menjadi buronan Kejaksaan Agung, karena terjerat kasus ujaran kebencian terhadap Jusuf Kalla, merujuk pada UU ITE.
"Saya berharap Silfester juga diberi amnesti. Jangan lagi ada orang dipenjara karena UU ITE," kata Ongen.
Ongen menyebut UU ITE disahkan pertama kali pada 2008 dengan tujuan utama memberikan kepastian hukum, melindungi transaksi digital, dan menciptakan rasa aman bagi masyarakat pengguna teknologi informasi. Namun dalam praktiknya, kata dia, pasal-pasal di dalam UU ini kerap dinilai multitafsir dan digunakan untuk menjerat kritik, sehingga memicu banyak kontroversi.
Ongen tak menutup mata bahwa regulasi ini telah direvisi pada 2016 dan 2024. Pemerintah menyatakan revisi tersebut bertujuan mempertegas delik aduan dan memperkuat perlindungan terhadap kebebasan berekspresi. Meski begitu, kritik tetap menguat karena pasal pencemaran nama baik dinilai masih membuka peluang kriminalisasi.
Atas dasar itu, dia melihat UU ITE mesti dipulihkan ke esensi dasar. Yakni, untuk menciptakan lingkungan digital yang aman, adil, dan mendukung pertumbuhan ekonomi.
Ongen mendorong agar penerapan UU ITE dievaluasi secara menyeluruh. “Regulasi digital di Indonesia benar-benar hadir untuk melindungi masyarakat sekaligus mendorong perkembangan ekonomi berbasis teknologi,” ujar Ongen.