Gambar: Foto Pulau Gag melalui Satelit Sentinel-2 L2A, 13 Maret 2017 (Kiri) dan 29 April 2025 (Kanan). (via Insights.planet.com)
Jakarta: Polemik tambang kembali mencuat di Raja Ampat. Pada Selasa, 10 Juni 2025, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) empat perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah pulau kecil dan kawasan hutan.
Namun, satu perusahaan dibiarkan tetap beroperasi, yakni PT Gag Nikel. Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, menyatakan bahwa PT Gag memiliki kelengkapan AMDAL dan merupakan bagian dari aset negara.
"Itu alhamdulillah sesuai dengan AMDAL, sehingga karena juga adalah bagian daripada aset negara," ujar Bahlil, Istana Kepresidenan, Jakarta, 10 Juni 2025.
PT Gag Nikel menjadi sorotan karena tetap memperoleh izin, sementara empat perusahaan lain yaitu PT Anugerah Surya Pratama, PT Nurham, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Kawei Sejahtera Mining dicabut izinnya karena dianggap melanggar ketentuan UU No. 1 Tahun 2014 dan UU No. 41 Tahun 1999.
Perusahaan ini memiliki sejarah panjang dan berdasarkan Keputusan Presiden Megawati, merupakan salah satu perusahaan tambang yang mendapat hak khusus untuk beraktivitas di hutan lindung, berikut profilnya.
Sejarah dan Kepemilikan PT Gag Nikel
PT Gag Nikel merupakan anak usaha dari PT Aneka Tambang Tbk (Antam), yang tergabung dalam Holding BUMN Pertambangan MIND ID. Wilayah konsesinya terletak di Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Melansir laman
Responsible Mining Indonesia, perusahaan ini memiliki Kontrak Karya generasi ketujuh dan menguasai wilayah pertambangan seluas 13.136 hektare.
Berdasarkan
Responsible Mining Indonesia, PT Gag Nikel adalah perusahaan tambang generasi ke VII yang disetujui oleh Presiden Soeharto tahun 1998 yang dulunya merupakan gabungan perusahaan BHP Billiton-Asia Pacific Nickel (75%), perusahaan tambang Australia dan PT Antam (28%).
Namun BHP Billiton mundur dari proyek tersebut pada tahun 2008, PT Antam kemudian mengakuisisi 100% saham perusahaan Australia tersebut. Alhasil, PT Antam sekarang sepenuhnya menguasai PT Gag.
Namun, menurut Menteri ESDM perusahaan sebenarnya sudah beraktivitas sejak era 1970-an. Namun, kegiatan eksploitasi sempat terhenti. Baru pada 2017, PT Gag mulai melakukan pembangunan fasilitas, dan kemudian melanjutkan tahap produksi.
"Dari semua ini, proses sekarang RKAB di 2025 yang diberikan hanya PT Gag Nikel, yang lainnya tidak diberikan. Kemudian, kalau PT Gag Nikel, itu sejarahnya dari tahun 1972 sudah dilakukan eksplorasi," kata Menteri ESDM, 10 Juni 2025.
Diperbolehkan Menambang di Hutan Lindung
PT Gag memperoleh legitimasi hukum untuk beroperasi di kawasan hutan lindung berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004. Dalam Keppres tersebut, PT Gag masuk dalam daftar 13 perusahaan yang diizinkan untuk tetap melakukan aktivitas pertambangan di dalam kawasan hutan, sepanjang memenuhi syarat perizinan pinjam pakai kawasan hutan.
“(Tidak boleh melakukan penambangan di hutan lindung) Tetapi kecuali (untuk) 13 perusahaan termasuk PT GN ini diperbolehkan melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 sehingga dengan demikian maka berjalannya kegiatan penambangan legal,” ujar Menteri LHK Hanif Faisol Nurofiq, Jakarta Pusat, 8 Juni 2025.
Meski beroperasi di wilayah sensitif, pemerintah menyatakan bahwa kegiatan PT Gag akan diawasi ketat. Presiden Prabowo Subianto disebut telah memberi arahan langsung agar pengawasan lingkungan dilakukan secara intensif.
"Selama kita awasi betul arahan Bapak Presiden. Kita harus awasi betul lingkungannya," ujar Bahlil, Istana Kepresidenan, 10 Juni 2025.
PT Gag juga mengklaim bahwa pihaknya telah menerapkan prinsip pertambangan berkelanjutan dan bertanggung jawab. Perusahaan menyatakan bahwa kegiatan operasionalnya telah sesuai dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan berkomitmen menjaga ekosistem perairan sekitar, termasuk terumbu karang.
Hutan Gundul di Pulau Gag
Namun, kritik terhadap keberadaan tambang di pulau kecil seperti Gag tetap mengemuka, mengingat Pulau Gag hanya seluas 60 km persegi, dimana berdasarkan UU No. 1 Tahun 2014, pulau-pulau kecil (<2000 km persegi) tidak diperioritaskan untuk kegiatan penambangan.
Keputusan tidak mencabut izin PT Gag menimbulkan perdebatan di tengah komitmen Indonesia untuk melindungi pulau kecil dan kawasan hutan dari eksploitasi berlebih.
Asosiasi Penambang Nikel Indonesia menyatakan bahwa perusahaan ini beraktivitas jauh dari kawasan konservasi dan telah menjalankan kebijakan ramah lingkungan.
“Kami sudah verifikasi. PT Gag jauh dari kawasan konservasi dan sudah menjalankan kaidah-kaidah pertambangan sesuai regulasi,” kata Meidy kepada wartawan, Selasa, 10 Juni 2025.
Namun, hasil citra satelit terbaru memperlihatkan adanya perubahan signifikan di bentang alam Pulau Gag. Foto citra satelit dari 13 Maret 2017 menunjukkan kawasan Pulau Gag masih hijau tertutup vegetasi hutan.
Gambar: Foto Pulau Gag melalui Satelit Sentinel-2 L2A, 13 Maret 2017. (via Insights.planet.com)
Namun, pada foto dari 29 April 2025, terlihat jelas bahwa sebagian besar area tengah pulau telah terbuka dan mengalami degradasi, ditandai dengan rona kecokelatan luas di tengah pulau.
Gambar: Foto Pulau Gag melalui Satelit Sentinel-2 L2A, 29 April 2025. (via Insights.planet.com)
Area tersebut diperkirakan sebagai zona penambangan aktif, dan perubahan vegetasi ini menunjukkan dampak nyata dari aktivitas tambang yang terus berlangsung. Selain deforestasi di area daratan, aktivitas tambang juga berdampak pada lingkungan perairan.
Melansir
Responsible Mining Indonesia, sejak beroperasi pada 2018, kawasan pesisir Pulau Gag sering kali tampak keruh dan berlumpur. Diduga, hal ini berasal dari sedimentasi akibat pembukaan hutan dan pembangunan dermaga tambang. Sedimen menutupi dasar laut, lamun, dan terumbu karang di sekitar pesisir.
Air laut yang sebelumnya jernih kini berubah warna dan mengancam kehidupan bawah laut.
Responsible Mining Indonesia juga mencatat bahwa masyarakat adat Suku Kawei, sebagai pemilik hak ulayat atas Pulau Gag, tidak dilibatkan secara penuh dalam proses perizinan dan eksploitasi. Hingga kini, mereka belum mendapatkan kejelasan terkait hak pelepasan tanah ulayat maupun keterlibatan dalam kegiatan tambang.
Pengawasan yang ketat, transparansi, serta audit lingkungan independen menjadi penting untuk memastikan keberlanjutan lingkungan Pulau Gag sebagai bagian dari ekosistem Raja Ampat yang sangat berharga secara global.