Siapa Kaum Druze dan Mengapa Israel Menyerang Suriah?

Warga Suriah yang mengsungsi dari serangan Israel. Foto: EFE

Siapa Kaum Druze dan Mengapa Israel Menyerang Suriah?

Fajar Nugraha • 17 July 2025 19:05

Damaskus: Gelombang kekerasan sektarian kembali mengguncang Suriah setelah dugaan penculikan terhadap seorang pedagang dari komunitas Druze memicu bentrokan berdarah di Provinsi Suwayda.

Pada Minggu, 13 Juli, bentrokan terjadi antara milisi Druze dan kelompok bersenjata Sunni Badui di selatan Suriah. Dua hari kemudian, pada Selasa, 15 Juli, Israel melancarkan serangan militer dengan alasan melindungi warga Druze dan menargetkan pasukan pro-pemerintah yang dituduh menyerang mereka.

Menurut Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR), setidaknya 300 orang telah tewas di Suwayda sejak pecahnya kekerasan.

Ini merupakan eskalasi pertama di wilayah mayoritas Druze sejak bentrokan pada April dan Mei lalu yang menewaskan puluhan orang. Ketegangan sektarian sebelumnya juga terjadi di wilayah pesisir Suriah pada Maret, yang menewaskan ratusan warga Alawit, kelompok yang selama ini diasosiasikan dengan mantan Presiden Bashar al-Assad.

Siapa kaum Druze?

Melansir dari BBC, Kamis, 17 Juli 2025, kaum Druze adalah minoritas etno-religius berbahasa Arab yang tersebar di Suriah, Lebanon, Israel, dan wilayah Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel. Mereka menganut kepercayaan turunan dari Syiah dengan ajaran dan identitas yang unik.

Sekitar separuh dari satu juta pengikut Druze tinggal di Suriah, membentuk sekitar 3% populasi. Komunitas Druze di Israel, yang berjumlah sekitar 152.000 orang, dikenal loyal terhadap negara dan turut menjalani wajib militer.

Selama perang saudara Suriah yang berlangsung lebih dari satu dekade, komunitas Druze membentuk milisi lokal sendiri, khususnya di selatan. Sejak tumbangnya rezim Assad pada Desember 2024, mereka menolak upaya pemerintah baru mengendalikan wilayah Suweida dan enggan bergabung dengan tentara nasional.

Kecurigaan terhadap pemerintah meningkat setelah muncul laporan eksekusi kilat terhadap warga Druze oleh pasukan negara, sebagaimana dicatat SOHR.

Mengapa Israel Menyerang Suriah Sekarang?

Israel mengklaim bahwa serangan udara pada 15 Juli ditujukan untuk melindungi komunitas Druze dan mencegah kehadiran kelompok Islamis di perbatasan utara, terutama dekat Dataran Tinggi Golan yang diduduki.

Sehari setelah serangan pertama, Israel memperluas serangan ke Damaskus dengan menghantam markas besar Kementerian Pertahanan dan Angkatan Darat Suriah. Pemerintah Suriah mengecam serangan ini sebagai pelanggaran serius atas kedaulatan negara.

Ini merupakan eskalasi paling serius sejak Desember 2024, saat Israel menghancurkan ratusan situs militer dan merebut zona penyangga PBB di Golan. Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz, menyatakan di media sosial, “Peringatan di Damaskus telah berakhir, sekarang giliran pukulan menyakitkan.”

Reaksi Dunia Internasional

Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, menyatakan keprihatinan serius atas kekerasan tersebut dan menjanjikan "langkah konkret untuk mengakhiri situasi mengerikan ini malam ini," dalam pernyataan 16 Juli.

Sejumlah negara Arab termasuk Lebanon, Irak, Qatar, Yordania, Mesir, dan Kuwait mengutuk serangan Israel ke Suriah. Arab Saudi menyebutnya sebagai “serangan terang-terangan,” sementara Iran menyebutnya “sudah dapat diduga.”

Turki menyebut serangan Israel sebagai sabotase terhadap upaya perdamaian pasca-perang di Suriah. Sekretaris Jenderal PBB António Guterres turut mengecam serangan yang dianggap memperburuk eskalasi di Suwayda dan Damaskus.


Apa yang Akan Terjadi Selanjutnya?

Kekerasan terbaru ini mencerminkan rapuhnya stabilitas pasca-perang di Suriah. Pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Ahmed al-Sharaa, mantan pejuang jihad yang kini menjadi presiden menghadapi tantangan besar dalam menyatukan negara yang dilanda perpecahan sektarian mendalam.

Bentrokan sektarian, ditambah serangan Israel, berpotensi menggagalkan upaya pembangunan kembali negara dan rekonsiliasi.

Israel, di sisi lain, diperkirakan akan terus berupaya membangun aliansi dengan kelompok minoritas seperti Druze, Kurdi, dan Alawit yang merasa terpinggirkan oleh pemerintahan baru demi menjaga keamanan di wilayah utaranya.

(Muhammad Reyhansyah)

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Fajar Nugraha)