Ledakan turis asing di Jepang dipicu media sosial, lemahnya yen, serta maskapai berbiaya rendah. (Anadolu Agency)
Muhammad Reyhansyah • 4 October 2025 11:59
Tokyo: Jepang mencatat rekor kunjungan wisata sejak pandemi Covid-19 dengan total 36,9 juta turis pada 2024. Para pelancong itu membelanjakan hingga 8,1 triliun yen atau sekitar Rp911 triliun. Tren ini berlanjut pada paruh pertama 2025 dengan tambahan 21,5 juta pengunjung.
Kepadatan wisata tidak hanya terjadi di Tokyo atau Kyoto. Kota pesisir Kamakura, yang berpenduduk 170.000 orang, menerima rata-rata 44.000 wisatawan per hari.
“Ke mana pun Anda pergi, bahkan di gang kecil, selalu ada orang,” ujar Ayako Maekawa, anggota dewan kota, dikutip Channel News Asia, Jumat, 3 Oktober 2025.
Namun, sebagian warga mulai merasa kewalahan. Seorang penduduk mengisahkan banyak turis berhenti di tengah jalan untuk berfoto hingga menimbulkan kemacetan. Transportasi umum juga ikut terdampak.
“Bus penuh sesak dengan turis, sampai nenek-nenek yang ingin ke rumah sakit pagi hari tidak bisa naik,” kata Maekawa.
Masalah Popularitas
Survei Ernst & Young di sepuluh destinasi utama menunjukkan hampir separuh responden lokal merasakan dampak overtourism. Kyoto bahkan membatasi akses turis ke distrik geisha Gion, sementara kota Fujikawaguchiko menutup sebagian pemandangan Gunung Fuji dengan tirai hitam untuk menghindari kerumunan.
Meski begitu, pemerintah Jepang tetap menargetkan 60 juta
wisatawan per tahun pada 2030. Menurut Kazuki Fukui, akademisi dari Ryutsu Keizai University, wisatawan asing dapat menutupi penurunan konsumsi domestik akibat berkurangnya populasi.
Kontribusi pariwisata terbilang signifikan, mencapai 7,3 persen PDB Jepang tahun lalu dan menyerap hampir 9 persen tenaga kerja, menurut World Travel and Tourism Council.
Gesekan Budaya dan Sosial
Ledakan turis dipicu media sosial, lemahnya yen, serta maskapai berbiaya rendah. Namun, tingginya kunjungan juga memicu gesekan budaya. Warga Kyoto mengeluhkan harus menunggu hingga 30 menit untuk naik bus. Survei Development Bank of Japan dan Japan Travel Bureau Foundation bahkan mencatat 32 persen turis sendiri merasa terganggu oleh keramaian.
Chris McMorran, akademisi dari National University of Singapore, mencontohkan bagaimana hal sederhana seperti menyeret koper di jalan sempit bisa dianggap tidak sopan di Jepang.
Kasus serupa terjadi di transportasi umum. Seorang pemilik biro perjalanan, Hiroshi Mizutani, pernah mengusir klien asal Tiongkok dari gerbong kelas satu Shinkansen karena berbicara terlalu keras lewat telepon.
Bahkan sejumlah pemilik usaha kecil lebih memilih pelanggan lokal. “Bukan berarti saya tidak suka pelanggan asing. Tapi mereka jarang jadi pelanggan tetap,” ujar Toyoko Mimura, pemilik bar 86 tahun di Tokyo.
Sebaran Wisata Belum Merata
Lebih dari separuh turis hanya mengunjungi Tokyo, sementara prefektur Shimane hanya kebagian 0,2 persen wisatawan.
Untuk mengatasi ketimpangan itu, beberapa daerah berupaya menarik pengunjung dengan ciri khas lokal. Misalnya, kota resor Kiyosato menawarkan produk susu dan pemandangan dataran tinggi, meski akses transportasi masih terbatas.
Di desa Kosuge, hotel Nipponia berhasil meraup pendapatan 30 juta yen per tahun dari turis asing. “Banyak orang pindah ke desa setelah awalnya datang sebagai wisatawan,” kata Takuma Furuya, pengelola hotel.
Menuju Pariwisata Berkelanjutan
Belanja wisatawan asing meningkat lima kali lipat dalam satu dekade, menjadikan sektor pariwisata sebagai ekspor terbesar kedua Jepang setelah semikonduktor dan baja. Tantangan berikutnya adalah keberlanjutan.
Sejumlah destinasi sudah menerapkan sistem reservasi daring, pembatasan jumlah pengunjung, hingga pungutan khusus. Jalur Yoshida di Gunung Fuji misalnya, kini membatasi hanya 4.000 pendaki per hari dengan biaya 4.000 yen untuk perawatan lingkungan.
“Pengurangan pengunjung serta upaya menjaga lingkungan akan menciptakan pariwisata berkelanjutan di Gunung Fuji,” kata Yoshiyuki Koizumi, pejabat Yamanashi Prefecture.
Japan Tourism Agency juga mendorong edukasi etika perjalanan. Bahkan, Japan National Tourism Organization (JNTO) menyatakan siap menghentikan promosi jika kunjungan terlalu membebani warga lokal.
“Ini butuh waktu penyesuaian karena lonjakan wisata belum terjadi selama 20–30 tahun terakhir,” kata Fukui.
Meski begitu, ia menilai inti masalah tetap positif. “Sebenarnya ini hal yang menyenangkan. Luar biasa melihat orang-orang dari seluruh dunia datang ke Jepang.”
Baca juga:
Lemahnya Yen Bantu Pariwisata Jepang