Dewan Redaksi Media Group Ade Alawi. MI/Ebet
DRAMA kehidupan berbangsa dan bernegara di era pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka terus berlanjut.
Dimulai dengan pemerintahan yang di luar ekspektasi rakyat dengan kehadiran kabinet tambun. Rakyat mengira jumlah kabinet lebih ramping atau setidaknya sama dengan era pemerintahan Joko Widodo sebelumnya, yakni 34 kementerian.
Namun, di era Prabowo itu malah bertambah secara 'spektakuler' menjadi 48 kementerian, lima kepala badan, dan 56 wakil kementerian. Mantan Pangkostrad yang dipecat Dewan Kehormatan Perwira karena diduga terlibat kasus penculikan itu beralasan bertambahnya kementerian disebabkan masalah yang dihadapi Indonesia sangat banyak.
Namun, aroma politik balas budi dengan bagi-bagi jabatan terhadap para pendukungnya dalam Pilpres 2024 lebih menguat ketimbang alasan banyaknya masalah dan luas wilayah Indonesia. Konsekuensi bertambahnya kementerian tentu saja berdampak kepada anggaran, sumber daya manusia, dan fasilitas yang mendukungnya.
Kritik dari berbagai kalangan terhadap kabinet gemuk Merah Putih dianggap angin lalu, gayung tak bersambut, bahkan dijawab dengan 'ndasmu'. Prabowo mengatakan hal itu dalam HUT ke-17 Partai Gerindra di Sentul International Convention Centre (SICC) Sentul, Bogor, Jawa Barat, Sabtu,15 Februari 2025.
Sejumlah budayawan/pakar linguistik menilai frasa bahasa Jawa itu berkonotasi negatif. Biasanya digunakan untuk makian bagi orang yang tidak bisa menggunakan kepalanya untuk berpikir.
Prabowo mengucapkan kata ndasmu ialah kali kedua setelah pada kontestasi Pilpres 2024 mengucapkan 'ndasmu etik' untuk merespons pernyataan capres Anies Baswedan pada debat capres putaran pertama.
Selain itu, ibarat rem mendadak, Presiden Prabowo mengeluarkan kebijakan penghematan anggaran yang tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025. Efisiensi belanja APBN dan APBD itu menyasar kementerian/lembaga serta pemerintah daerah 2025.
Target penghematan anggaran untuk 2025 sebesar Rp 306,6 triliun. Penghematan anggaran itu tak semata-mata membabat anggaran 'konyol', tetapi juga diperuntukkan mendanai program makan bergizi gratis (MBG) dan modal Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (
Danantara).
Kementerian, badan, dan pemerintah daerah kelabakan. Penghematan yang semula menargetkan anggaran yang bersifat dukungan, seperti seminar, alat tulis kantor, dan sebagainya, akhirnya berdampak pada kinerja.
Kebijakan Prabowo yang menyentak publik ialah penempatan perwira militer aktif di pemerintahan dan perluasan peran militer dalam mendukung agenda nasional, seperti MBG dan ketahanan pangan.
Sejumlah jabatan pemerintahan yang kini diisi militer aktif ialah Kepala Sekretariat Presiden atau Kasetpres yang dijabat Mayor Jenderal TNI Ariyo Windutomo. Kepala Satuan Pengawas Universitas Pertahanan itu resmi menjabat sebagai Kasetpres menggantikan Heru Budi Hartono yang notabene dari sipil.
Jabatan lain yang disandang militer aktif ialah Sekretaris Kabinet Letkol Teddy Indra Wijaya dan Direktur Utama Perum Badan Urusan Logistik Mayjen TNI Novi Helmy Prasetya.
Yang menjadi pembicaraan publik ialah 'keajaiban' jabatan Teddy Indra Wijaya. Jabatan mantan ajudan Prabowo semasa ia menjadi menteri pertahanan di dalam pemerintahan Jokowi itu sempat terjadi kesimpangsiuran, apakah Seskab di bawah Kementerian Sekretariat Negara atau Sekretariat Militer Presiden.
Tak hanya kesimpangsiuran jabatan perwira menengah Kopassus itu, kenaikan pangkatnya dari mayor ke letkol dalam enam bulan bak 'meteor' melampaui enam angkatan. Kenaikan pangkat Teddy yang superkilat itu bisa merusak kohesi dan meritokrasi di tubuh TNI.
Kenaikan pangkat di lembaga pertahanan negara ini seharusnya berlandaskan pada kinerja, pendidikan, kompetensi, dan masa dinas yang sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Dasar hukum kenaikan pangkat dalam TNI telah diatur dalam UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI dan Peraturan Panglima TNI No 40 Tahun 2018 tentang Kepangkatan Prajurit TNI.
Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Maruli Simanjuntak meminta keberadaan anggota TNI di kementerian/lembaga tidak perlu diperdebatkan.
Menantu Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan itu bahkan menganggap pihak yang meributkan hal itu seperti tidak ada kerjaan dan kampungan. Dia menyampaikan hal itu kepada wartawan seusai mengunjungi lahan ketahanan pangan di Puslatpur Ogan Komering Ulu (OKU) Timur, Sumatra Selatan, Rabu, 12 Maret 2025.
Drama perluasan militer masuk ke ranah sipil semakin menjadi-jadi dengan dikebutnya Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia.
Bahkan, Komisi I DPR RI telah menggelar rapat panitia kerja (panja) untuk mengebut pembahasan Revisi UU 34/2004 tentang TNI, atau RUU TNI, selama dua hari pada akhir pekan lalu, yakni Jumat, 14 Maret 2025, dan Sabtu, 15 Maret 2025, di hotel bintang lima, Fairmont, Senayan, Jakarta.
Rapat tertutup di tengah efisiensi anggaran itu berlangsung maraton, bahkan hingga malam hari dikawal Koopsus TNI atau Komando Operasi Khusus TNI (pasukan khusus dari matra darat, laut, dan udara).
Revisi UU TNI bisa mengembalikan dwifungsi ABRI karena memperluas militer aktif dalam instansi sipil. Pemerintah menargetkan revisi beleid tersebut bisa selesai sebelum masa reses DPR atau sebelum libur Lebaran tahun ini. DPR akan memasuki masa reses mulai Jumat, 21 Maret 2025.
Salah satu pasal yang direvisi itu ialah Pasal 47. Sebelumnya dalam Pasal 47 UU TNI, para prajurit TNI aktif bisa ditempatkan di 10 kementerian atau lembaga sipil. Namun, dalam draf revisi, instansi yang bisa mereka rambah bertambah lima, menjadi 15 institusi.
Proses legislasi sejatinya melibatkan partisipasi yang bermakna (meaningful participation). Dalam Putusan MK No 91/PUU-XVIII/2020 disebutkan tiga syarat partisipasi masyarakat yang bermakna. Pertama, terpenuhinya hak untuk pendapatnya didengarkan (
right to be heard). Kedua, hak untuk pendapatnya dipertimbangkan (
right to be considered). Ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (
right to be explained).
Jarum sejarah tak bisa dibalik mundur. Tetesan darah pahlawan reformasi 1998 harus menjadi penanda bahwa reformasi ialah harga mati. Reformasi di semula lini harus bergerak terus untuk Indonesia lebih baik, yakni demokratis, supremasi sipil, adil dan makmur. Tabik!
(
Dewan Redaksi Media Group/Ade Alawi)