Gen Z dan Alpha Dinilai Harus Lebih Kritis terhadap Informasi di Medsos

Diskusi bertajuk Generasi Z dan Alpha di Era Digital 5.0, Mampukah Menjadi Generasi Emas? Istimewa.

Gen Z dan Alpha Dinilai Harus Lebih Kritis terhadap Informasi di Medsos

Arga Sumantri • 3 March 2025 10:28

Jakarta: Derasnya arus informasi menjadi tantangan Generasi Z dan Alpha dalam membentuk mentalitas serta intelegensia mereka. Mengonsumsi informasi yang keliru, apalagi hoaks, dapat mengancam rencana jangka panjang pemerintah menuju  Indonesia Emas di 2045.

Demikian disampaikan Dekan Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Syarif Kasim Riau, Ade Ria Nirmala, dalam diskusi bertajuk Generasi Z dan Alfa di Era Digital 5.0, Mampukah Menjadi Generasi Emas?, beberapa waktu lalu. Ade mengatakan bahwa gen Z dan Alpha harus lebih banyak berpikir dan berkegiatan positif agar memiliki mental yang kuat.

"Gen Z dan alpha harus bisa lebih semangat dan jangan cepat patah mental," kata Ade Ria, dikutip, Senin, 3 Maret 2025.

Dia mengatakan dua kelompok ini juga harus lebih kritis dan skeptis dalam menerima arus informasi yang bertebaran di dunia maya, apalagi media sosial. Menurutnya, banyak informasi yang beredar perlu dicek lagi kebenarannya. Kebiasaan ini penting agar generasi penerus tidak terjebak dalam informasi ambigu.
 

Baca juga: Hoaks Rekrutmen Petugas Haji, Kemenag Minta Masyarakat Hati-hati

Hal senada diungkapkan Direktur Pusat dan Analisa Ekonomi Nusantara, Edo Segara Gustanto. Dia menilai gen Z dan Alpha masih rentan terpapar isu hoaks. Dia mencontohkan isu boikot produk yang diduga terafiliasi Israel menyusul agresi negara zionis tersebut ke tanah Palestina.

Beredarnya isu hoaks terlihat ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa nomor 83 terkait imbauan untuk tidak memakai produk yang diduga terkait Israel. Edo mengatakan tidak lama berselang setelah MUI mengeluarkan fatwa tersebut, bermunculan daftar produk yang diduga terafiliasi Israel. 

Padahal, sambung dia, MUI dan pemerintah tidak pernah mengeluarkan daftar resmi perusahaan-perusahaan yang disebut-sebut terkait Israel. Menurut Edo, tidak semua orang memahami kalau ada yang menunggangi isu boikot di Indonesia. 

"MUI tidak pernah merilis produk yang harus diboikot. Akan tetapi muncul tiba-tiba pada sore hari produk-produk yang harus diboikot. Siapa yang merilis?" tegas Edo.

Menurut dia, bisa jadi ada pihak yang mengeruk keuntungan dari penyebaran daftar produk boikot yang dilakukan secara masif dan terstruktur itu. Artinya, gerakan boikot tersebut bisa jadi sudah ditunggangi oleh kepentingan kelompok tertentu dengan tujuan memenangi persaingan usaha.

"Artinya pasti ada dorongan lain yang membuat pengunggah mengeluarkan daftar boikot secara tidak bertanggung jawab. Nah ini berbahaya. Dalam konteks persaingan bisnis ini sudah pasti tidak sehat," kata Edo.
 
Baca juga: Ada Akun Instagram Korlantas Polri Palsu, Masyarakat Diminta Waspada

Edo juga meminta publik untuk lebih kritis dan hati-hati dalam melakukan boikot terhadap produk tertentu. Menurutnya, diperlukan riset mendalam untuk membuktikan keterkaitan sebuah produk atau produsen terhadap Israel.

"Kita harus bijak dalam boikot, jangan sekedar emosional dan ikut-ikutan saja. Kita harus cek betul setiap informasi yang beredar itu benar," ujar Edo.

Dosen Universitas Cokroaminoto Yogyakarta, Muhammad Rizky mengatakan penyebaran informasi hoaks berpotensi mengancam ekonomi digital. Dia menekankan informasi yang beredar bakal berdampak pada preferensi publik untuk membeli produk tertentu.

Menurutnya, perkembangan ekonomi digital dapat membantu pertumbuhan ekonomi nasional. Sehingga, pemerintah perlu membuat regulasi yang mendukung pertumbuhan sektor usaha.

"Regulasi di Indonesia seperti UU ITE, hingga UU terkait digital yang diadakan harus melindungi pelaku usaha di setiap industri," kata Rizky.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Arga Sumantri)