Pita Limjaroenrat, Senior Democracy Visiting Fellow di Harvard Kennedy School. (YouTube / FPCI)
Willy Haryono • 15 November 2025 16:33
Jakarta: Berbagai tekanan yang dihadapi masyarakat sipil di tengah kemunduran demokrasi global menjadi sorotan di acara diskusi Global Town Hall sesi "Civil Societies as a Force for Stability and Progress in an Increasingly Turbulent World." Sesi ini menekankan bagaimana negara, teknologi, dan gejolak geopolitik membentuk ulang ruang gerak kelompok masyarakat sipil di banyak negara.
Pita Limjaroenrat, Senior Democracy Visiting Fellow di Harvard Kennedy School, memaparkan empat tantangan utama yang kini membayangi kelompok masyarakat sipil. Eks politikus yang hampir menjadi Perdana Menteri Thailand itu menjelaskan bahwa secara strategis, banyak organisasi masyarakat sipil distigmatisasi sebagai agen asing, radikal, atau kelompok pengacau karena negara gagal menangani masalah dan berusaha mengalihkan kendali.
“Itu adalah tantangan pertama dalam kemunduran demokrasi,” ujarnya, dalam Global Town Hall 2025 yang digelar FPCI secara virtual pada Sabtu, 15 November 2025.
Menurut Pita, tantangan kedua muncul secara operasional melalui pengetatan birokrasi, mulai dari penolakan visa hingga proses pendaftaran organisasi yang semakin rumit. Tantangan finansial juga membayangi ketika pendanaan dipangkas dari berbagai arah sehingga organisasi harus melakukan reorganisasi internal.
Adapun pada sisi teknologi, ia menyoroti semakin masifnya operasi informasi, misinformasi, dan disinformasi yang melemahkan kemampuan masyarakat sipil menyampaikan nilai-nilai demokrasi. “Tanpa kelompok masyarakat sipil yang kuat dan tangguh, akan sangat sulit bagi demokrasi untuk bertahan,” tegas Pita.
Sementara itu Suhasini Haidar, Senior International Correspondent Al Jazeera, menguraikan bagaimana lima “guncangan global” sejak 2020 semakin mempersempit ruang sipil, antara lain pandemi Covid-19, perang Rusia–Ukraina, konflik Israel–Gaza, krisis Sudan, serta tensi ekonomi dan tarif yang dipicu Amerika Serikat.
Ia juga mengingatkan bahwa dunia kini memasuki fase kenaikan suhu 1,5°C yang membawa dampak sosial dan politik yang besar. “Semua guncangan ini terjadi dalam konteks meningkatnya populisme dan demokrasi yang berbelok menuju otoritarianisme,” ujarnya.
Suhasini menilai kondisi tersebut mendorong lima tantangan besar bagi media dan ruang sipil, yaitu kecenderungan otoritarian di negara demokratis yang ingin mengendalikan narasi; disintermediasi media melalui teknologi dan media sosial; publik yang rela melepas sebagian hak sipil demi keamanan; sentimen anti-media dalam protes publik; serta polarisasi yang merusak institusi dan konsep kebenaran bersama.
“Kita benar-benar berada dalam era pasca-kebenaran,” tutur Suhasini.
Baca juga: Masyarakat Sipil Didorong Jadi Pilar Stabilitas di Tengah Gejolak Global