Ilustrasi. Foto: dok IFG Life.
Ade Hapsari Lestarini • 11 September 2025 15:20
Jakarta: Berdasarkan laporan IFG Progress (Februari 2025), tingkat penetrasi asuransi di Indonesia masih menjadi yang terendah di kawasan Asia Tenggara, yakni hanya 1,4 persen. Angka ini tertinggal dibandingkan Vietnam (2,2 persen), Filipina (2,5 persen), Malaysia (3,8 persen), Thailand (4,6 persen), Singapura (12,5 persen), serta dua negara besar Asia lainnya, Tiongkok (3,9 persen) dan India (4,0 persen).
Di sisi lain, tingkat literasi asuransi di Indonesia pada 2025 tercatat sekitar 45,45 persen menurut Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) yang dilakukan OJK bersama BPS.
Angka ini masih lebih rendah dibandingkan rata-rata negara lain yang mencapai 60-70 persen. Minimnya pemahaman mengenai manfaat asuransi inilah yang memicu banyak kesalahpahaman dan menjadi salah satu faktor utama rendahnya kesadaran masyarakat untuk memiliki perlindungan sejak dini.
"Rendahnya penetrasi dan literasi asuransi di Indonesia menunjukkan masih besarnya tantangan dalam meningkatkan edukasi keuangan. Banyak masyarakat yang belum menyadari asuransi bukan sekadar biaya, melainkan investasi perlindungan jangka panjang bagi diri dan keluarga. Sebagai pemimpin industri di bidang asuransi, IFG Life berkomitmen untuk terus meningkatkan literasi, meluruskan miskonsepsi, serta menghadirkan solusi proteksi yang mudah diakses, komprehensif, dan relevan di setiap tahap kehidupan," ujar Direktur Bisnis Individu IFG Life, Fabiola Noralita, dalam keterangan tertulis, Kamis, 11 September 2025.
Berikut lima miskonsepsi yang selama ini berkembang:
1. Klaim asuransi sulit dan ribet
Sebagian masyarakat beranggapan proses klaim asuransi selalu rumit, membutuhkan waktu lama, dan sering kali memakan biaya tambahan. Persepsi ini membuat sebagian orang enggan memiliki asuransi, karena merasa nantinya justru akan dipersulit saat membutuhkan manfaat perlindungan. IFG Life menegaskan klaim asuransi sebenarnya dirancang untuk mudah, cepat, dan transparan.
2. Asuransi hanya untuk kalangan tertentu
Banyak orang beranggapan asuransi hanya ditujukan bagi mereka yang memiliki penghasilan tinggi atau pekerjaan tertentu. Persepsi ini membuat sebagian masyarakat merasa proteksi asuransi bukanlah kebutuhan prioritas, melainkan sebuah "kemewahan" yang hanya bisa dijangkau oleh kelompok tertentu. Asuransi bukanlah kemewahan, melainkan perlindungan penting bagi siapa saja.
Ilustrasi. Foto: Freepik
3. Manfaat asuransi jiwa hanya dapat dirasakan setelah nasabah meninggal dunia
Sebagian masyarakat menganggap asuransi jiwa hanya bermanfaat bagi ahli waris ketika pemegang polis meninggal dunia. Pandangan ini keliru dan membuat banyak orang menunda memiliki perlindungan sejak dini. Faktanya, asuransi jiwa tidak hanya bermanfaat saat pemegang polis meninggal dunia, tetapi juga dapat memberikan perlindungan finansial ketika menghadapi risiko penyakit kritis.
4. Klaim asuransi sulit di kota kecil
Sebagian masyarakat masih beranggapan klaim asuransi hanya bisa dilakukan dengan mudah di kota besar. Sementara di daerah lain prosesnya rumit dan membutuhkan waktu lebih lama. Hal ini membuat sebagian orang di daerah enggan berasuransi karena khawatir tidak bisa mengakses manfaatnya. IFG Life menegaskan klaim asuransi kini dapat dilakukan dengan mudah, cepat, dan transparan, termasuk bagi nasabah di daerah. Melalui digitalisasi layanan, nasabah dapat mengajukan klaim secara
seamless melalui aplikasi tanpa harus datang langsung ke kantor cabang.
5. Premi asuransi mahal
Banyak masyarakat beranggapan premi asuransi selalu mahal dan sulit dijangkau, sehingga asuransi dianggap bukan prioritas. Persepsi ini membuat sebagian orang menunda memiliki proteksi sejak dini. Faktanya, asuransi dapat disesuaikan dengan kemampuan finansial masyarakat, sehingga tidak perlu menunggu mapan atau berpenghasilan besar untuk mulai memiliki perlindungan.
3 faktor penghambat masyarakat jadi peserta asuransi
Data IFG Progress menunjukkan tiga faktor utama yang menghambat masyarakat menjadi peserta asuransi, yaitu:
- Belum merasa memiliki kebutuhan.
- Kurangnya kepercayaan terhadap perusahaan asuransi.
- Persepsi premi asuransi cenderung mahal.
Ketiga faktor ini membutuhkan pendekatan yang berbeda untuk mendorong peningkatan penetrasi asuransi. Studi tersebut juga menemukan belum adanya kecenderungan kuat dari responden yang belum memiliki asuransi untuk segera membeli produk asuransi.
Hal ini terlihat dari komposisi subkelompok responden yang masih terbagi: 53 persen menyatakan ingin membeli asuransi pertama mereka, sementara 47 persen belum memiliki niat. Bahkan, dari kelompok yang ingin membeli, sekitar 40 persen baru berencana mendaftar asuransi lebih dari lima tahun ke depan. Temuan ini menegaskan betapa besarnya tantangan dalam memperluas penetrasi asuransi di Indonesia.
"Asuransi bukanlah beban biaya, melainkan perlindungan finansial yang semakin penting di tengah ketidakpastian. Karena itu, kami mendorong masyarakat untuk memiliki proteksi sejak dini, agar manfaat perlindungan dapat dirasakan lebih optimal dengan premi yang tetap terjangkau," tutup Fabiola.