Ilustrasi. FOTO: NDTV
AMERIKA Serikat (AS) akhirnya selamat dari cengkeraman potensi gagal bayar utang. Hal itu terjadi usai Presiden AS Joe Biden menandatangani undang-undang yang menaikkan plafon utang negara. Adapun penandatanganan tersebut dilakukan secara tertutup di Gedung Putih. Sedangkan Biden berterima kasih kepada para pemimpin Kongres.
Departemen Keuangan AS sebelumnya terus berteriak bahwa AS bakal kekurangan uang tunai untuk membayar semua tagihannya pada Juni. Jika skenario terburuk adalah plafon utang gagal disepakati maka gelombang kejutan melalui AS bakal dirasakan oleh ekonomi global. Tentu hal itu sangat berbahaya mengingat ketidakpastian perekonomian dunia masih ada.
Adapun kesepakatan yang didapatkan menangguhkan batas utang hingga 2025 -setelah pemilihan presiden berikutnya- dan membatasi pengeluaran pemerintah. Ini memberikan target anggaran anggota parlemen untuk dua tahun ke depan dengan harapan menjamin stabilitas fiskal saat musim politik memanas.
Dengan menaikkan batas utang negara yang sekarang menjadi USD31,4 triliun akan memastikan bahwa pemerintah dapat meminjam untuk membayar utang yang telah timbul. Kesepakatan ini pada akhirnya membuat ekonomi global bisa bernafas sedikit lega karena ancaman badai besar dari AS telah mereda.
"Melewati perjanjian anggaran ini sangat penting. Taruhannya tidak mungkin lebih tinggi. Tidak ada yang lebih dahsyat selain gagal bayar utang negara," kata Biden dari Oval Office, dikutip dari Time.
Jika ditelisik sedikit ke belakang, Pemerintahan Presiden Joe Biden sebenarnya terus memperingatkan tentang konsekuensi malapetaka bagi ekonomi Amerika Serikat termasuk kehilangan pekerjaan yang sangat besar jika negara tersebut gagal bayar. Bahkan, jika memang gagal bayar bisa memicu AS ke wilayah yang tidak diketahui dengan konsekuensi drastis.
Hal itu termasuk resesi yang membayangi dan kemungkinan penularan keuangan global. "Kita seharusnya tidak berada di sini. Kongres gagal menaikkan batas utang pada saat gagal bayar, kita akan mengalami resesi dan itu akan menjadi bencana besar. Amerika Serikat tidak pernah gagal bayar utangnya," kata Wakil Menteri Keuangan AS Wally Adeyemo.
Angin segar datang
Namun, usai ancaman besar itu mereda. Angin segar perlahan datang. Dana Moneter Internasional (IMF), misalnya, menaikkan sedikit perkiraan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat di 2023. Keputusan itu diambil sambil mencatat ekonomi yang melambat kemungkinan menyebabkan peningkatan kecil dalam pengangguran pada 2024.
"Ekonomi AS terbukti tangguh. Kami menganggap pasar treasury AS sebagai jangkar sistem keuangan global, dan jangkar ini perlu dipertahankan," kata Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva.
IMF dalam sebuah pernyataan menyebutkan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) riil di Amerika Serikat diperkirakan naik 1,7 persen tahun ini, naik dari perkiraan 1,6 persen di awal 2023, sebelum melambat menjadi satu persen pada 2024.
"Tingkat pengangguran AS, yang saat ini mendekati rekor terendah, diperkirakan naik sedikit, dengan pertumbuhan yang melambat, namun tetap solid mendorongnya untuk meningkat menjadi 4,4 persen pada akhir tahun depan," kata IMF.
Adapun perkiraan baru IMF untuk AS mengikuti data terbaru yang menunjukkan ketahanan ekonomi meskipun ada kampanye agresif kenaikan suku bunga untuk melawan inflasi yang tinggi oleh Federal Reserve AS, dan tekanan baru-baru ini di sektor perbankan.
Mengatasi inflasi, Georgieva mengatakan, permintaan yang kuat dan pasar tenaga kerja yang kuat telah menjadi pedang bermata dua bagi ekonomi AS. "Mereka tentu saja merupakan dorongan bagi keluarga Amerika, tetapi mereka juga berkontribusi terhadap inflasi yang lebih persisten daripada yang diperkirakan," katanya.
Di sisi lain, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menjelaskan, pertumbuhan ekonomi dunia di 2023 kini berpotensi lebih tinggi dari perkiraan semula. Pertumbuhan ekonomi global 2023 diperkirakan mencapai 2,7 persen (yoy), ditopang oleh pertumbuhan ekonomi negara berkembang yang lebih kuat.
Ekonomi Tiongkok tumbuh lebih baik didorong pembukaan ekonomi usai pandemi covid-19. Prospek ekonomi India naik didukung permintaan domestik yang kuat. Sementara itu, pemulihan ekonomi negara maju, terutama Amerika Serikat tertahan sejalan dengan dampak kebijakan moneter ketat dan peningkatan risiko Stabilitas Sistem Keuangan (SSK).
Penurunan inflasi global, lanjutnya, berlanjut terutama dipengaruhi oleh proses disinflasi negara berkembang yang lebih cepat. Sedangkan penurunan inflasi negara maju lebih lambat akibat pasar tenaga kerja yang ketat. Ketidakpastian pasar keuangan global tetap tinggi dipengaruhi oleh dampak risiko SSK di negara maju.
"Di tengah ketidakpastian pasar keuangan global tersebut, aliran masuk modal asing ke negara berkembang berlanjut seiring dengan kondisi dan prospek perekonomiannya yang lebih baik," tuturnya.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia kuat
Terbebasnya AS dari badai besar membuat ekonomi global bernafas lega termasuk Indonesia. Bersyukur, pertumbuhan ekonomi di Indonesia tetap kuat. Pertumbuhan ekonomi triwulan I-2023 tercatat 5,03 persen (yoy), sedikit meningkat dari pertumbuhan pada triwulan sebelumnya sebesar 5,01 persen (yoy).
Perkembangan positif ini didorong oleh tingginya ekspor dan meningkatnya permintaan domestik. "Sejalan dengan konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah yang meningkat serta investasi nonbangunan yang baik," tuturnya.
Pertumbuhan ekonomi juga didukung kinerja yang baik di seluruh Lapangan Usaha (LU), dengan kontribusi yang besar tercatat pada LU Industri Pengolahan, Perdagangan Besar dan Eceran, serta Transportasi dan Pergudangan. Secara spasial, pertumbuhan ekonomi tertinggi tercatat di wilayah Kalimantan dan Sulawesi-Maluku-Papua (Sulampua).
Adapun perkembangan terkini menunjukkan kegiatan ekonomi tetap membaik pada triwulan II-2023, sebagaimana tecermin pada pertumbuhan positif penjualan eceran, ekspansi Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur, dan kenaikan keyakinan konsumen.
"Kinerja ekspor pada April 2023 juga kuat di tengah membaiknya perekonomian global. Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi 2023 diperkirakan tetap dalam kisaran 4,5-5,3 persen," kata Perry.
Senada dengan nakhoda utama BI, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan di tengah berbagai gejolak, ekonomi Indonesia termasuk yang tumbuh kuat. Ekonomi Indonesia, Tiongkok, dan India konsisten tumbuh di atas pertumbuhan global.
"Ekonomi Indonesia, Tiongkok, dan India yaitu tiga negara emerging memiliki kinerja pertumbuhan ekonomi yang sangat baik, namun masing-masing memiliki tantangan," kata Menkeu.
Usai krisis keuangan global 2008, ekonomi global melambat dan diperburuk oleh mulainya perang dagang antara AS dan Tiongkok di 2017. Selanjutnya, adanya pandemi covid-19 juga menyebabkan kontraksi yang dalam secara global. Indonesia dan India termasuk yang pulih paling cepat, walaupun dihadapkan pada krisis geopolitik.
Kebijakan fiskal Indonesia telah terbukti efektif mendorong pertumbuhan ekonomi, termasuk di masa pandemi. Di antara negara G20 dan ASEAN, kenaikan PDB Indonesia dan Vietnam lebih besar dari utang, sementara mayoritas negara lainnya, kenaikan utang justru lebih tinggi dari PDB nya masing-masing.
"Usai pandemi tidak berarti tantangan kita semakin mudah. Kita lihat tensi geopolitik itu menjadi faktor dominan dan sama seperti di mana saja politik itu unpredictable dampaknya menjadi shock yang tidak bisa tercipta pattern-nya," kata Menkeu.
Selain tensi geopolitik, ancaman kemunculan pandemi, perubahan iklim, dan digitalisasi menjadi tantangan yang perlu diwaspadai ke depan. Hal-hal tersebut akan menjadi game changer dan mengubah konstelasi global hingga satu dekade ke depan.
"Untuk menghadapi ketidakpastian maka Indonesia harus mampu menciptakan resiliensi, dalam suasana yang tidak pasti harus dijaga dengan ketahanan ekonomi Indonesia,” kata Menkeu.
Ia mengatakan tren pemulihan ekonomi Indonesia berlanjut dengan kuat di mana PDB tumbuh di atas lima persen dalam enam kuartal berturut-turut. Pertumbuhan ini didukung oleh semua agregat demand yang telah pulih setelah pandemi di antaranya konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, investasi, dan ekspor-impor.
Sementara itu, dari komponen produksi seperti manufaktur, perdagangan, pertambangan, pertanian, konstruksi, transportasi, dan akomodasi juga mencatatkan kinerja yang positif. "Secara regional juga sudah kita lihat bahwa pemulihan sudah dikontribusikan oleh semua daerah," ucap Menkeu.
Pemulihan ekonomi yang berkualitas mampu menurunkan pengangguran dan kemiskinan. Pemulihan ekonomi 2021-2022, mampu menciptakan lapangan kerja sebanyak 6,8 juta orang (neto), sehingga angka pengangguran turun ke angka 5,45 persen.
Pertumbuhan ekonomi di 2024
Lebih lanjut, dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2024, pemerintah mengasumsikan pertumbuhan ekonomi pada 2024 sebesar 5,3 persen hingga 5,7 persen. Sri Mulyani Indrawati memandang besaran asumsi tersebut realistis.
"Pemerintah memandang asumsi pertumbuhan ekonomi di 2024 antara 5,3-5,7 persen adalah sebuah proyeksi yang realistis," ungkapnya.
Sebagai negara dengan sistem ekonomi terbuka, prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia dipengaruhi oleh dinamika dan prospek ekonomi global maupun faktor-faktor domestik. Prospek pertumbuhan dari sisi global untuk 2024 diperkirakan membaik dibandingkan dengan tahun ini yang dianggap sebagai tahun yang paling lemah.
"Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan mengalami akselerasi dari tahun ini yang hanya 2,8 persen per tahun yakni di 2023 pada tahun depan akan sedikit membaik menjadi 3,0 persen di 2024. Dilihat dari volume perdagangan dunia diperkirakan juga lebih baik atau pulih, meningkat dari 2,4 persen di 2023 menjadi tumbuh 3,5 persen tahun 2024,” jelasnya.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi juga akan didukung produk hilirisasi yang terus diperkuat untuk menopang daya saing produk ekspor Indonesia. Dari sisi domestik, aktivitas konsumsi dari sisi agregat demand juga diperkirakan akan menguat di 2024.
Di samping itu, penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada di 2024 dan percepatan pelaksanaan agenda reformasi struktural turut diperkirakan mendorong aktivitas perekonomian. Namun demikian, menanggapi pandangan fraksi terhadap besaran asumsi pertumbuhan ekonomi tersebut, pemerintah sepakat tentang pentingnya peningkatan kewaspadaan gejolak global.
"Oleh karena itu, kita akan terus melakukan antisipasi dari berbagai tantangan lain baik dalam jangka pendek, menengah, dan panjang. Masalah perubahan iklim dan perkembangan teknologi informasi dan digital yang cepat, serta ancaman pandemi juga masih menjadi risiko yang harus kita perhitungkan," pungkas Menkeu.