Sejarah Perdebatan BPUPKI: Negara Islam vs Sekuler

Rapat BPUPKI. (Wikimedia Commons)

Sejarah Perdebatan BPUPKI: Negara Islam vs Sekuler

Riza Aslam Khaeron • 30 July 2025 14:58

Jakarta: Tanggal 17 Agustus 2025 menandai peringatan 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam refleksi kebangsaan yang semakin mendalam, penting untuk kembali menilik akar sejarah ideologis bangsa, terutama momen krusial dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tahun 1945.

Salah satu isu terpenting yang mencuat kala itu adalah perdebatan tentang bentuk dasar negara: apakah Indonesia akan menjadi negara Islam atau negara tidak berdasar agaam tertentu. Perdebatan ini tak hanya menjadi fondasi perumusan Pancasila, tetapi juga mencerminkan pergulatan gagasan antara dua kutub ideologis besar di tubuh bangsa Indonesia.
 

Latar Belakang Sidang BPUPKI

BPUPKI diresmikan pada 29 April 1945 oleh pemerintah pendudukan Jepang. Sidang pertamanya dimulai pada 29 Mei hingga 1 Juni 1945, dengan fokus utama membahas dasar negara.

Tiga tokoh besar menyampaikan gagasan mereka: Mohammad Yamin (29 Mei), Soepomo (31 Mei), dan Soekarno (1 Juni). Ketiganya menyuarakan pandangan yang berbeda: Yamin lebih menekankan sejarah dan budaya, Soepomo menekankan negara integralistik, sementara Soekarno memperkenalkan lima sila yang kemudian dikenal sebagai Pancasila.

Namun, perbedaan pandangan antara kelompok nasionalis dan kelompok Islam dalam menentukan dasar negara tidak dapat disatukan dalam forum pleno.

Maka dibentuklah Panitia Sembilan, terdiri dari sembilan tokoh mewakili dua kutub tersebut. Mereka bekerja menyusun kompromi ideologis yang dituangkan dalam naskah bernama "Piagam Jakarta" pada 22 Juni 1945. Piagam ini memuat rumusan Pancasila dengan sila pertama berbunyi:

Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

Frasa inilah yang kemudian dikenal sebagai "tujuh kata Piagam Jakarta". Bagi kalangan Islam, tujuh kata ini merupakan bentuk pengakuan konstitusional terhadap aspirasi mayoritas rakyat Indonesia. Sementara bagi kelompok pendukung negara tanpa berdasar agama tertentu dan minoritas agama, tujuh kata tersebut menimbulkan kekhawatiran akan eksklusivitas negara.
 

Argumen Kelompok Pendukung Bukan Negara Islam


Foto: Soekarno, 1 Juni 1945. (laman PDIP Perjuangan Jawa Timur)

Kelompok pendukung negara nasionalis tidak berbasis agama apapun dalam BPUPKI diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Soepomo, dan A.A. Maramis.

Namun, dalam konteks pidato dan dokumen yang paling lengkap tersedia, Soekarno menjadi tokoh sentral dalam menyuarakan gagasan negara yang inklusif dan tidak berbasis agama tertentu. Dalam pidatonya pada 1 Juni 1945, ia mengemukakan pentingnya dasar negara yang dapat merangkul seluruh golongan di Indonesia yang majemuk. Soekarno menyampaikan:

"Negara Indonesia bukan satu untuk satu orang, bukan satu untuk satu golongan, walaupun golongan yang terbesar sekalipun. Tetapi kita mendirikan negara 'semua buat semua', satu buat semua, semua buat satu."

Soekarno juga menolak konsep negara Islam dengan alasan bahwa hal itu akan memecah belah persatuan Indonesia:

"Kalau kita mendirikan negara Indonesia dengan dasar Islam, maka rakyat yang bukan Islam, misalnya di Bali yang Hindu, di Ambon yang Kristen, akan merasa tidak dipersatukan."

Sebagai jalan tengah, ia mengusulkan lima prinsip yang kemudian dikenal sebagai Pancasila: kebangsaan, internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan yang berkebudayaan. Soekarno menegaskan bahwa kelima prinsip itu dapat digali dari bumi Indonesia sendiri, bukan mengimpor ideologi luar:

"Saya menggali Pancasila dari bumi Indonesia sendiri, bukan hasil ciptaan saya sendiri."

Dengan semangat menyatukan seluruh elemen bangsa tanpa menghapus nilai-nilai religius, Soekarno mengajak bangsa Indonesia menuju kompromi ideologis demi keutuhan nasional.
 
Baca Juga:
Presiden Prabowo Luncurkan Tema dan Logo HUT ke-80 RI Hari Ini
 

Argumen Kelompok Negara Islam


Foto: Ki Bagus Hadikusumo (tengah) di Jepang. (KITLV)

Kelompok Islam dalam BPUPKI diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Wahid Hasyim, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, dan Muhammad Natsir.

Ki Bagus Hadikusumo, pendiri Partai Masyumi di Yogyakarta pada 1943 menjadi tokoh sentral yang menyuarakan pentingnya menjadikan Islam sebagai dasar negara. Ia memandang bahwa Islam adalah agama yang menyeluruh, tidak hanya mengatur ibadah ritual, tetapi juga sistem sosial, hukum, dan pemerintahan.

Dalam pidatonya pada 31 Mei 1945, Ki Bagus menyampaikan:

Dalam negara kita, tentu kita menginginkan berdirinya satu pemerintahan yang adil dan bijaksana, berdasarkan budi pekerti yang luhur dan permusyawaratan. Kalau benar demikian, dirikanlah pemerintahan itu atas ajaran Islam, karena Islam mengandung sifat-sifat itu.

Sebagai penutup, Ki Bagus menyatakan kekhawatirannya jika aspirasi mayoritas Muslim diabaikan:

Oleh karena itu tuan-tuan, saya sebagai seorang bangsa Indonesia tulen, bapak dan ibu saya bangsa Indonesia, nenek moyang saya pun bangsa Indonesia juga yang asli dan murni belum ada campurannya; dan sebagai seorang Muslim yang mempunyai cita-cita Indonesia Raya dan Merdeka, maka supaya negara Indonesia merdeka itu dapat berdiri tegak dan teguh, kuat dan kokoh, saya mengharapkan akan berdirinya negara Indonesia itu berdasarkan agama Islam.... Jangan sampai 90 persen dari rakyat kita tidak didengarkan aspirasinya.”

Bagi Ki Bagus, syariat Islam bukan untuk memaksa, melainkan sebagai landasan moral dan keadilan yang berasal dari aspirasi mayoritas. Ia menolak anggapan bahwa negara berdasarkan Islam akan eksklusif, dan justru memperingatkan bahwa mengabaikan nilai-nilai Islam akan menciptakan jarak dengan umat.

Dengan argumen-argumen tersebut, Ki Bagus dan kelompoknya mendorong agar prinsip syariat diakomodasi dalam perumusan dasar negara. Hal ini kemudian diwujudkan dalam rumusan awal Piagam Jakarta, yang menyebutkan "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya."

Namun, ketegangan kembali muncul menjelang pengesahan Undang-Undang Dasar oleh PPKI pada 18 Agustus 1945. Tokoh Kristen seperti A.A. Maramis dan Johannes Latuharhary menyatakan keberatan mereka terhadap isu tujuh kata dalam sila pertama tersebut, menganggapnya mengancam semangat persatuan dan kesetaraan bagi seluruh warga negara.

Mohammad Hatta kemudian memimpin lobi untuk menghapus tujuh kata itu, demi menjaga keutuhan nasional dan mencegah fragmentasi wilayah, khususnya Indonesia bagian timur yang memiliki populasi Kristen signifikan. Hasilnya, rumusan sila pertama diubah menjadi:

Ketuhanan Yang Maha Esa.

Perdebatan di tubuh BPUPKI tentang dasar negara mencerminkan betapa seriusnya para pendiri bangsa dalam membangun fondasi yang mampu memayungi keanekaragaman Indonesia.

Meskipun pada akhirnya frasa "syariat Islam bagi pemeluknya" dihapus dan diganti menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa", hasil kompromi ini menjadi landasan penting lahirnya negara Pancasila: bukan negara agama, namun juga bukan negara sekuler dalam arti Barat.

Sejarah ini tetap relevan 80 tahun kemudian, sebagai pengingat bahwa kemerdekaan Indonesia dibangun di atas semangat inklusivitas, musyawarah, dan pengorbanan antar-golongan demi keutuhan bangsa.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Surya Perkasa)