Personel Brimob Polda Metro Jaya dan TNI-AL berjaga di depan SMAN 72 Jakarta, usai insiden ledakan di sekolah tersebut, Jumat (7/11/2025). Foto: MI/Usman Iskandar
Farhan Zhuhri • 8 November 2025 12:00
Jakarta: Pengamat terorisme dari The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya, menilai peristiwa ledakan di SMAN 72 Jakarta, Kelapa Gading, Jakarta Utara harus menjadi peringatan bagi sekolah dan keluarga untuk memperkuat pengawasan terhadap ekosistem sosial dan digital remaja.
Ia menegaskan, masalah utama bukan pada jaringan teror, melainkan pada lingkungan sosial yang tidak ramah dan lemahnya literasi digital.
"Sekolah harus jadi ruang aman dan beradab. Guru, kurikulum, dan sistem belajar harus memastikan tak ada ruang bagi perundungan. Keluarga pun perlu aktif mengedukasi anak soal penggunaan media digital,” ujar Harits, Sabtu, 8 November 2025.
Harits menilai, kasus ledakan itu mencerminkan lemahnya deteksi dini terhadap tekanan sosial yang dialami siswa. Ia mendorong seluruh pihak membangun lingkungan sekolah yang toleran dan empatik agar potensi kekerasan bisa ditekan sejak dini.
Selain itu, ia menekankan pentingnya peran negara dan platform digital untuk memfilter konten yang berpotensi menginspirasi kekerasan.
"Bukan hanya gagasan kelompok ekstrem, tapi juga kekerasan yang datang dari premanisme atau konflik sosial yang bisa menular secara psikologis,” tuturnya.

Korban ledakan di SMAN 72 Jakarta, Kelapa Gading, Jakarta Utara sedang dirawat di rumah sakit. Foto: Dok/Antara
Menurut Harits, dunia maya kini menjadi ruang rawan bagi remaja yang mengalami tekanan sosial. Akses tanpa kendali bisa menumbuhkan imajinasi kekerasan yang berbahaya.
"Banyak tindakan kekerasan terjadi bukan karena ideologi, tapi karena inspirasi dari kekerasan lain yang mereka lihat setiap hari di media sosial,” katanya.
Ia menilai langkah cepat aparat dalam mengendalikan informasi dan menjaga ketenangan publik jauh lebih penting ketimbang memperluas spekulasi.
"Yang dibutuhkan sekarang adalah ketenangan dan edukasi publik, bukan ketakutan massal,” pungkas Harits.