Ini Skenario Dunia Usaha Jika Indonesia Kena Tarif Trump 32% Plus 10%

Ilustrasi. Foto: partnership-id.com

Ini Skenario Dunia Usaha Jika Indonesia Kena Tarif Trump 32% Plus 10%

Insi Nantika Jelita • 13 July 2025 15:30

Jakarta: Analis kebijakan ekonomi dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani menegaskan prioritas utama dunia usaha tetap berada di dalam negeri. Namun, jika secara bisnis lebih menguntungkan untuk membangun fasilitas produksi di AS, pengusaha terbuka melihat peluang tersebut. 

"Prinsip kami di dunia usaha adalah membangun optimisme. Pilihan kita adalah terus berharap pada hasil terbaik, tetapi tetap mempersiapkan diri untuk skenario terburuk," ucap Ajib dalam program Kontroversi bertajuk Tarif Kejam Trump yang disiarkan di YouTube Metro TV, dikutip Minggu, 13 Juli 2025.

Ajib menjelaskan jika skenario terburuk terjadi, misalnya tarif Trump tetap dikenakan sebesar 32 persen bahkan ditambah 10 persen akibat keanggotaan Indonesia di BRICS, maka dunia usaha siap dengan langkah strategis. Seperti negosiasi ulang terhadap kerja sama dagang bilateral dengan AS dan diversifikasi pasar ekspor. 

Selain isu tarif, masalah likuiditas juga menjadi perhatian utama pelaku usaha. Ajib mengatakan jika Donald Trump menyebut dollar is a king, di dunia usaha pun prinsip serupa berlaku, yakni cash is a king. Namun, realitasnya, pelaku usaha di Indonesia menghadapi tantangan besar dalam hal biaya dana (cost of fund) yang tinggi.

Struktur pembiayaan yang membebani dunia usaha menyebabkan ekonomi biaya tinggi secara umum. Bunga pinjaman bank di Indonesia rata-rata masih berada di dua digit. "Untuk mendapatkan bunga sembilan persen saja, pelaku usaha harus memenuhi banyak syarat," jelas Ajib. 

Dia juga menyoroti margin bunga bersih (net interest margin) perbankan Indonesia termasuk yang tertinggi di Asia, yang justru memperburuk daya saing dunia usaha. Di sisi lain, isu penciptaan lapangan kerja (job creation) juga menjadi perhatian bersama, baik di AS maupun Indonesia. 

Masalah ini, menurut Ajib tidak bisa dilihat secara parsial, karena menyangkut stabilitas fiskal dan struktur ekonomi jangka panjang. Oleh karena itu, kerja sama ekonomi dan strategi diplomasi dagang harus diarahkan tidak hanya untuk memperluas pasar, tapi juga menjawab tantangan struktural di masing-masing negara.
 

Baca juga: Implementasi Tarif Trump 32?lum Berlaku, Indonesia Terus Rayu AS


(Presiden AS Donald Trump menunjukan daftar negara-negara dengan besar tarif yang dikenakan. Foto: EPA-EFE/KENT NISHIMURA/POOL)

Usaha negosiasi pemerintah sia-sia


Pakar hukum internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menyampaikan pandangan pesimistis terkait negosiasi Indonesia dengan AS mengenai rencana kenaikan tarif impor. Dia menilai upaya yang ditawarkan pemerintah bisa jadi sia-sia, terutama jika merujuk pada isi surat dari Donald Trump. 

Dalam surat tersebut dinyatakan tidak akan ada tarif tambahan jika Indonesia atau perusahaan-perusahaan Indonesia memilih untuk berinvestasi dan membangun pabrik di Amerika Serikat.

"Tujuan utama dari kebijakan tarif ini sebenarnya adalah untuk membuka lapangan pekerjaan di AS. Mohon maaf, bisa saja (tawaran Indonesia) itu sia-sia jika keinginan AS tidak dipenuhi," bilang Hikmahanto. 

Menurutnya, AS selama ini berinvestasi di banyak negara untuk memproduksi barang, namun barang-barang tersebut tetap diekspor kembali dari AS. Akibatnya, penciptaan lapangan kerja justru terjadi di negara-negara mitra, bukan di dalam negeri mereka sendiri. Hal inilah yang mendorong AS untuk menerapkan tarif sebagai bentuk proteksi terhadap sektor ketenagakerjaan mereka.

Hikmahanto pun mengingatkan jika Indonesia ingin berinvestasi ke luar negeri, maka iklim investasi harus dilindungi, termasuk perlindungan terhadap direksi agar tidak dihantui risiko hukum ketika menghadapi kerugian usaha.

Dia juga menyinggung pentingnya menjaga kedaulatan dalam negosiasi. "Kalau misalnya ada syarat yang memaksakan kita mengubah regulasi seperti QRIS, sertifikasi halal, itu sudah menyentuh isu kedaulatan," tukas dia.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Husen Miftahudin)