Ilustrasi UMKM. Foto: dok SIG.
Jakarta: Dinamika perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok masih berlangsung. Setelah memanas, kedua negara akhirnya sepakat menurunkan tarif impor.
Berdasarkan hasil negosiasi petinggi AS dan Tiongkok di Jenewa, Swiss, tarif impor atas barang Tiongkok turun dari 145 persen menjadi 30 persen dan tarif Tiongkok untuk barang AS turun dari 125 persen menjadi 10 persen.
Konsultan Bisnis Kerakyatan Wirson Selo berpendapat penurunan tarif impor dalam perang dagang AS-Tiongkok menjadi awal yang baik untuk UMKM di Tanah Air. Kendati demikian, kondisi ini tidak lantas membuat UMKM menjadi terlena karena bisnis merupakan sesuatu hal yang dinamis dan harus terus bergerak.
"Perang dagang sejatinya sudah terjadi sejak ratusan tahun lampau, kita mengenal jalur sutera sebagai jalur perdagangan yang melintasi kawasan Asia, di mana para pedagang jual beli rempah dan produk tenun serta produk perkakas," ujar Wirson dikutip dari keterangan tertulis, Selasa, 13 Mei 2025.
Menurut Wirson, perang dagang pada masa modern menjadi isu yang mengguncang karena adanya regulasi dan pembatasan yang ketat yang diberlakukan oleh setiap negara mempertimbangkan kepentingannya dan memperjuangkan dominasinya masing-masing.
Setiap negara akan memperjuangkan surplus angka dalam proses terjadinya ekspor impor. Setiap negara menghendaki lebih banyak uang yang diterima daripada uang yang dibayarkan ke negara lain.
Mekanisme perdagangan internasional saat ini setiap negara saling ketergantungan satu sama lain dengan saling bertukar produk. Setiap negara berjuang untuk memperbesar jumlah barang dan value untuk diekspor dan menekan sekecil mungkin ketergantungannya atas produk impor dari negara lain.
"Proses yang sangat dinamis, bergerak dan bergeser dari waktu ke waktu sepanjang waktu, mencari titik keseimbangan perdagangan (equilibrium point)," kata Wirson.
Pengaruh bagi UMKM Indonesia
Ia tidak menampik, pada awal perang dagang AS-Tiongkok sempat membuat para pelaku usaha mencermati produknya secara seksama. Secara garis besar yang menjadi konsentrasi para pelaku usaha adalah mengecek rantai pasok bahan baku untuk melihat apa saja yang didatangkan dari negara lain serta mengecek seberapa besar produknya yang diekspor ke negara lain terutama Amerika.
Sudah pasti, UMKM di Indonesia juga tentu akan terdampak, terutama produk-produk yang marketnya ekspor ke AS, karena dalam proses ekspor sebagian telah terjadi kesepakatan dan kontrak jual beli jauh sebelum kebijakan ini diberlakukan. Pada titik ini para pelaku usaha gelisah membaca arah dan pastinya memikirkan alternatif negara lain sebagai tujuan ekspor.
Namun, Wirson menilai kegelisahan ini tidak berlangsung lama. Sebab, upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk bernegosiasi terhadap AS merupakan langkah kompromistis untuk menjaga stabilitas ekspor ke AS.
"Situasi ini semestinya akan menjadi pemicu bagi para pelaku usaha untuk memperluas marketnya di luar negeri menjalin kerjasama perdagangan dengan banyak negara dan terus menambah varian produk ekspornya," tutur dia.
Wirson menjelaskan perang dagang kali ini menjadi kejutan bagi pelaku
UMKM, kejutan yang menyadarkan regulasi dan situasi global menjadi faktor penentu utama di segala lini bisnis. Para pihak harus mengambil pelajaran penting dari peristiwa perang dagang ini.
Pemerintah melalui kementerian dan lembaga terkait tentunya akan meningkatkan frekuensi dialog perdagangan dengan lebih banyak negara sehingga kedepannya resiko kebijakan negatif beberapa negara lain tidak serta merta membuat sektor UMKM terpuruk.
(Ilustrasi UMKM. Foto: Freepik/Pikisuperstar)
Pemerintah dan UMKM tak boleh putus komunikasi
Pelaku usaha semestinya menyadari dan akan menemukan cara bagaimana meningkatkan efisiensi produksi dengan menemukan sumber pasokan bahan baku yang tidak hanya bergantung ke satu atau dua sumber saja, sembari terus meningkatkan riset and development untuk memanfaatkan potensi sumberdaya di negeri sendiri. Pekerjaan yang tentunya memerlukan komitmen kuat dan konsistensi tinggi dari pemerintah dan pelaku usaha melalui lembaga lembaga riset dan lembaga pendidikan.
UMKM perlu memperkuat komunikasi, menghimpun diri dan berjejaring sesama pelaku usaha, untuk mengambil langkah strategis bersama yang bersifat formula darurat atau cepat saji, sembari terus berdialog dengan pemerintah untuk merumuskan langkah strategis pada masa mendatang.
"Penguasa adalah penentu arah kebijakan, ketika kebijakan tidak satu nafas dengan realitas di pelaku usaha, maka kebijakan yang diambil bisa saja menjadi kurang tepat, kesinambungan komunikasi dan dialog antara pelaku UMKM dan pengambil kebijakan senantiasa harus sinkron," beber Wirson.
Oleh karena itu, perlu dijaga supaya terjadi kesinambungan antara realita di lapangan dengan kebijakan yang akan diambil, dilengkapi dengan kajian ilmiah dari para pihak yang memahami arah politik ekonomi global.
Terkait harapan untuk masa depan UMKM di Indonesia di tengah ketidakpastian global, Wirson merekomendasikan perlunya penyusunan rumusan jangka panjang yang akan menjadi peta dasar bagi pengembangan UMKM Indonesia, perumusan yang komprehensif, dimulai dari telaah akademis, riset dan pengembangan potensi sumber daya alam dan olahannya, serta riset teknologi yang akan bersanding dengan cita-cita bersama para pendiri bangsa.
"Dengan demikian, bangsa ini menjadi bangsa yang mandiri, kokoh secara fundamental ekonomi yang tetap berpedoman pada nilai-nilai budaya bangsa kita," ucap Wirson.