Direktur Eksekutif INDEF, Esther Sri Astuti dalam forum bertajuk 1 Tahun Prabowo–Gibran: Optimism on 8% Economic Growth. Foto: Metrotvnews.com/Duta Erlangga
Adinda Vinka • 16 October 2025 12:27
Jakarta: Direktur Eksekutif INDEF, Esther Sri Astuti, mengatakan upaya memperkuat ekspor nasional perlu memperhatikan aspek keberlanjutan dan standar sertifikasi produk. Hal ini untuk menjaga kualitas ekspor agar tetap bersaing di pasar global.
“Jadi ini sustainability standard atau sustainable certification itu memang prefer-nya penuh dengan produk Indonesia yang mempengaruhi masyarakat,” ujar Esther di forum bertajuk 1 Tahun Prabowo–Gibran: Optimism on 8% Economic Growth di JS Luwansa Hotel & Convention Center, Jakarta, Kamis, 16 Oktober 2025.
Esther menilai tantangan utama ekspor Indonesia terletak pada pemenuhan standar keberlanjutan yang beragam di tiap negara tujuan. Setiap negara memiliki standar sertifikasi yang berbeda, seperti Jepang dan Eropa yang memiliki aturan ketat terhadap produk berkelanjutan.
Hal ini, menurutnya, menjadi tantangan besar bagi pelaku ekspor Indonesia. Terutama bagi produk-produk yang berasal dari sektor pertanian dan perkebunan.
“Standar sendiri-sendiri, Jepang punya standar sendiri, Eropa punya standar sendiri. Sehingga yang harus dilakukan adalah mereka untuk mendapatkan certificate program untuk belajar ini,” ujar Esther.
Forum 1 Tahun Prabowo–Gibran: Optimism on 8% Economic Growth. Foto: Metrotvnews.com/Duta Erlangga
Ia mencontohkan, produk seperti kopi masih menghadapi kesulitan dalam memperoleh sertifikasi reguler karena tingginya beban biaya yang harus ditanggung eksportir. Padahal, untuk menembus pasar global, setiap produk harus memiliki sistem penelusuran atau traceability yang jelas dan memenuhi syarat lingkungan ketat.
“Kalau ingin ekspor kopi misalnya, atau anything, itu traceability-nya itu harus jelas. Apakah kopi itu ditanam di gunung tanah melindung? Tidak boleh. Apakah di proses di cuci ada sampah burung? Tidak boleh. Nah, gandeng eksportir untuk melakukan edukasi mereka,” jelas Esther.
Menurut Esther, solusi dari persoalan ini adalah memperkuat peran eksportir dalam memberikan edukasi kepada petani serta mendorong integrasi produk Indonesia ke dalam rantai nilai global atau global value chain. Integrasi tersebut penting agar produk lokal memiliki nilai tambah dan bisa diakui di pasar internasional.
“Kalau produk kita tidak terintegrasi dengan global value chain, tidak akan sukses. Jadi, kopi Indonesia harus punya speciality. Dia alamikan misalnya low acidity, jadi tidak membuat perut kembung. Nah, setidaknya, pertama adalah dorong eksportir bantu untuk melakukan edukasi para eksportir,” kata Esther.
Ia menambahkan, kehadiran pelaku industri global di Indonesia juga akan membuka lapangan kerja baru dan memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok dunia. Dengan begitu, ekspor Indonesia tidak hanya berorientasi pada volume, tetapi juga pada kualitas dan keberlanjutan produk.