Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tengah diganggu. Foto: Anadolu
Tel Aviv: Pemerintahan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berada di ambang kejatuhan setelah dua partai ultra-Ortodoks menarik dukungan dari koalisi penguasa. Langkah ini memperparah kebuntuan politik di tengah tekanan atas isu wajib militer bagi kelompok Yahudi, Haredi.
Faksi Agudat Yisrael, yang memiliki tiga kursi di Knesset dari total 120 kursi, resmi keluar dari pemerintahan sebagai bentuk protes karena kegagalan meloloskan rancangan undang-undang pembebasan wajib militer bagi warga Haredi.
Sehari sebelumnya, faksi Degel HaTorah yang memegang empat kursi juga menarik diri. Kedua faksi tersebut merupakan bagian dari aliansi United Torah Judaism (UTJ) yang secara total memiliki tujuh kursi dalam koalisi Netanyahu.
Menurut laporan media Israel, Partai Shas, partai ultra-Ortodoks lainnya dengan 11 kursi juga berencana keluar dari koalisi pada Kamis. Jika itu terjadi, maka koalisi pemerintah akan kehilangan dukungan signifikan dan turun di bawah batas minimal mayoritas 61 kursi.
Mengutip dari Anadolu, Rabu, 16 Juli 2025, berikut lima skenario yang dapat terjadi pasca-mundurnya partai-partai ultra-Ortodoks dari koalisi:
1. Bertahan sebagai Pemerintahan Minoritas selama Reses Knesset
Netanyahu diperkirakan akan menunggu hingga masa reses musim panas Knesset yang dimulai 27 Juli dan berlangsung hingga Oktober 2025. Dalam periode ini, pemerintahan dapat berjalan sebagai minoritas tanpa wewenang meloloskan undang-undang baru. Ini memberikan waktu tambahan untuk merundingkan solusi dengan partai-partai agama.
2. Meloloskan RUU Pembebasan Wajib Militer untuk Haredi
Netanyahu bisa mencoba mengesahkan RUU yang memberikan pengecualian wajib militer bagi laki-laki Haredi demi mengembalikan dukungan partai ultra-Ortodoks. Namun, langkah ini kemungkinan besar akan menuai kecaman keras dari partai oposisi dan publik, terlebih di tengah krisis kekurangan pasukan akibat perang selama 21 bulan di Gaza.
3. Koalisi Ambruk Sepenuhnya Jika Partai Kanan Ekstrem Ikut Mundur
Jika krisis terus memburuk, partai-partai sayap kanan seperti Otzma Yehudit (6 kursi) dan Religious Zionism (8 kursi) bisa mengikuti jejak partai Haredi dan keluar dari pemerintahan. Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir, pemimpin Otzma Yehudit, telah beberapa kali mengancam menarik dukungan jika Netanyahu menerima kesepakatan gencatan senjata di
Gaza. Sementara itu, Religious Zionism yang dipimpin Menteri Keuangan Bezalel Smotrich terus mendorong aneksasi wilayah Tepi Barat.
4. Merangkul Partai Oposisi untuk Bentuk Koalisi Baru
Netanyahu juga bisa mencoba meraih dukungan dari partai oposisi seperti Partai Biru dan Putih milik Benny Gantz (8 kursi) atau Yesh Atid milik Yair Lapid (23 kursi). Dukungan ini bisa digunakan untuk mendorong kesepakatan damai dengan Gaza atau normalisasi hubungan dengan negara-negara Arab. Namun, kedua partai tersebut telah berulang kali menyatakan menolak bekerja sama dengan Netanyahu karena keterlibatannya dalam kasus korupsi.
5. Membubarkan Pemerintahan dan Menggelar Pemilu Dini
Opsi terakhir adalah Netanyahu mengakui kegagalan dan menetapkan tanggal pemilu dini. Namun langkah ini kecil kemungkinan diambil kecuali ia berhasil meraih kemenangan politik terlebih dahulu—hal yang krusial baginya untuk mempertahankan kekebalan hukum di tengah persidangan kasus suap, penipuan, dan penyalahgunaan wewenang yang sedang dihadapinya.
Israel menghadapi tekanan internasional menyusul operasi militer brutal di Gaza sejak Oktober 2023 yang telah menewaskan hampir 58.500 warga Palestina, mayoritas perempuan dan anak-anak.
Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant juga menjadi subjek surat perintah penangkapan oleh Mahkamah Pidana Internasional atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Selain itu, Israel menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional atas serangan di Gaza.
(Muhammad Reyhansyah)