ilustrasi medcom.id
Whisnu Mardiansyah • 15 October 2025 08:09
Semarang: Tugu Muda menjulang bagai lilin abadi di jantung Kota Semarang, menjadi saksi bisu perjuangan heroik rakyat Semarang dalam Pertempuran Lima Hari. Monumen ini mengingatkan kita pada babak penting revolusi Indonesia dari 15- 19 Oktober 1945.
Peristiwa bersejarah ini bukan sekadar konflik bersenjata biasa. Pertempuran tersebut menjadi simbol perlawanan pemuda Semarang mempertahankan kemerdekaan yang baru berusia dua bulan.
Beberapa minggu setelah proklamasi 17 Agustus 1945, situasi di Semarang masih penuh ketidakpastian. Pasukan Jepang yang kalah perang belum sepenuhnya dilucuti senjatanya oleh Sekutu. Mereka masih memegang senjata dan bertugas menjaga ketertiban sambil menunggu kedatangan pasukan Inggris dari Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI).
Di sisi lain, gelora kemerdekaan menyala-nyala di kalangan pemuda dan rakyat Semarang. Mereka membentuk laskar-laskar perjuangan yang bernaung di bawah Badan Keamanan Rakyat (BKR), cikal bakal Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Para pemuda menuntut penyerahan seluruh senjata milik Jepang kepada pasukan republik.
Ketegangan semakin memuncak ketika Jepang tetap enggan menyerahkan persenjataan. Bentrokan kecil mulai terjadi di berbagai sudut kota antara pemuda Indonesia dan tentara Jepang. Situasi semakin rumit karena Sekutu belum tiba untuk mengambil alih tanggung jawab keamanan.
Puncak ketegangan pecah pada 14 Oktober 1945. Pasokan air bersih ke Rumah Sakit Pusat, kini RSUP Dr Kariadi, terputus akibat diduga sabotase pihak Jepang. Dokter dan tenaga medis panik karena banyak pasien dan korban luka membutuhkan air bersih.
Dr. Kariadi, dokter muda lulusan STOVIA yang dikenal sangat dedikasi, memutuskan memeriksa langsung sumber air di daerah Wungkal. Lokasi tersebut kabarnya dikuasai tentara Jepang. Dalam perjalanan menuju lokasi, Dr Kariadi tertembak dan gugur.
Kematian sang dokter menjadi pemicu ledakan kemarahan rakyat. Dalam waktu singkat, para pemuda, pelajar, dan anggota TKR menyerbu markas-markas Jepang di seluruh penjuru Semarang. Pertempuran besar tidak dapat dihindari lagi.
Sejak 15 Oktober 1945, Kota Semarang berubah total menjadi medan perang. Pertempuran sengit terjadi di banyak titik strategis, mulai dari Pelabuhan Tanjung Emas, kawasan Bubakan, Jatingaleh, Candi, hingga daerah Tugu.
Pasukan Jepang di bawah pimpinan Letnan Kolonel Kido masih memiliki kekuatan militer yang signifikan, termasuk persenjataan berat. Namun, semangat juang pemuda Semarang jauh lebih membara. Mereka bertempur dengan senjata rampasan, bambu runcing, dan bom molotov.
Selama lima hari, suara tembakan, dentuman mortir, dan teriakan perjuangan terus menggema di seluruh kota. Warga sipil turut berpartisipasi aktif dengan memasok makanan, mengevakuasi korban, dan memberikan informasi pergerakan musuh.
Pertempuran berlangsung sengit dan brutal di beberapa titik strategis. Banyak korban berjatuhan di kedua belah pihak, baik dari kalangan pejuang Indonesia maupun tentara Jepang. Meski demikian, semangat mempertahankan kemerdekaan tidak pernah surut.
Pada 19 Oktober 1945, pasukan Sekutu pimpinan Brigadir Jenderal Bethell dari AFNEI akhirnya tiba di Semarang. Mereka datang bersama pasukan Belanda dari NICA (Netherlands Indies Civil Administration).
Pasukan Sekutu memerintahkan penghentian tembakan dan penenangan situasi. Namun bagi rakyat Semarang, kedatangan Sekutu yang membawa serta NICA justru menjadi ancaman baru, yaitu kembalinya kolonialisme.
Pertempuran antara rakyat dan Jepang memang berhenti, tetapi ketegangan justru berlanjut dalam bentuk perlawanan terhadap upaya Belanda kembali melalui tangan Sekutu.
Pertempuran Lima Hari menelan korban jiwa dalam jumlah besar. Berbagai sumber sejarah mencatat lebih dari 2.000 orang Indonesia gugur, baik sebagai pejuang maupun warga sipil. Di pihak Jepang, sekitar 300 prajurit dilaporkan tewas.
Kota Semarang mengalami kerusakan parah. Rumah-rumah penduduk hancur, gudang-gudang terbakar, dan fasilitas umum lumpuh total. Namun, semangat perlawanan rakyat justru semakin membara setelah pertempuran.
Bagi masyarakat Semarang, darah yang tertumpah menjadi bukti nyata bahwa kemerdekaan bukan hadiah, melainkan hasil perjuangan dan pengorbanan. Kisah heroik para pemuda, termasuk Dr. Kariadi yang gugur di medan tugas, menjadi legenda yang terus diturunkan ke generasi berikutnya.
Untuk mengenang para pahlawan yang gugur dalam pertempuran tersebut, pemerintah mendirikan Tugu Muda pada tahun 1953. Monumen berbentuk lilin menyala ini melambangkan semangat juang yang tak pernah padam.
Di sekeliling Tugu Muda terdapat diorama yang menggambarkan perjuangan rakyat Semarang melawan Jepang. Setiap relief menampilkan adegan heroik, mulai dari rakyat memikul senjata, Dr Kariadi berjuang menyelamatkan pasien, hingga pemuda bertempur di gang-gang sempit kota.
Tugu ini menjadi pengingat bahwa semangat Sumpah Pemuda dan kemerdekaan tidak hanya hidup di Jakarta, Surabaya, atau Bandung, tetapi juga menyala kuat di Semarang, kota yang dijuluki Kota Atlas.
Selain Tugu Muda, banyak lokasi di Semarang yang menyimpan jejak pertempuran bersejarah. Di Jalan Pandanaran dahulu berdiri markas pasukan TKR. Daerah Candi dan Bulu menyimpan banyak bekas pos pertahanan Jepang.
RSUP Dr Kariadi tetap menjadi saksi sejarah hidup. Di halaman rumah sakit tersebut kini berdiri patung Dr Kariadi, mengabadikan jasanya yang gugur demi memastikan pasien-pasiennya tetap mendapat air bersih.
Pemerintah Kota Semarang bersama sejarawan lokal telah menetapkan beberapa bangunan sebagai cagar budaya. Gedung-gedung tua di kawasan Kota Lama yang dulu digunakan sebagai markas logistik dan pos komunikasi termasuk dalam daftar perlindungan.
Pertempuran Lima Hari di Semarang memiliki arti strategis dalam sejarah revolusi Indonesia. Meski berlangsung singkat, peristiwa ini membuktikan bahwa semangat mempertahankan kemerdekaan telah merata di seluruh daerah.
Bagi rakyat Semarang, perjuangan itu menegaskan bahwa kemerdekaan tidak hanya dipertahankan oleh tentara resmi, melainkan juga oleh rakyat biasa. Dokter, pelajar, buruh, dan ibu rumah tangga turut andil dalam perjuangan.
Peristiwa ini juga menegaskan satu prinsip penting, yaitu bangsa Indonesia siap melawan siapa pun yang mencoba merampas kemerdekaan. Baik Jepang yang belum menyerah sepenuhnya, maupun Belanda yang berusaha kembali melalui Sekutu.
Pertempuran Lima Hari di Semarang dikenal pula dengan sebutan Palagan Lima Hari. Istilah "palagan" berasal dari bahasa Jawa yang berarti medan perang. Dalam konteks sejarah, peristiwa ini menjadi simbol kebangkitan kesadaran rakyat mempertahankan republik muda dari ancaman asing.
Usai pertempuran, banyak tokoh pemuda Semarang bergabung dalam pertempuran lain di Jawa Tengah. Pertempuran Ambarawa pada Desember 1945 menjadi salah satu lanjutan perjuangan melawan kolonialisme. Dengan demikian, Pertempuran Lima Hari di Semarang menjadi mata rantai penting yang menghubungkan perjuangan awal kemerdekaan di berbagai daerah Indonesia.
Kini, setiap 19 Oktober, masyarakat Semarang memperingati Hari Pahlawan Daerah. Upacara digelar di Tugu Muda, disertai berbagai kegiatan seperti ziarah, pameran foto, dan drama kolosal untuk mengenang jasa para pejuang.
Sekolah-sekolah di Semarang menjadikan kisah pertempuran ini sebagai bagian integral pendidikan sejarah lokal. Anak-anak belajar bahwa kemerdekaan adalah hasil keberanian dan pengorbanan nyata.
Semangat itu terus menjadi inspirasi bagi generasi muda masa kini. Perjuangan tidak selalu dalam bentuk senjata, tetapi juga dalam menjaga kejujuran, kerja keras, dan solidaritas di tengah tantangan zaman modern.
*Pengerjaan artikel berita ini melibatkan peran kecerdasan buatan (artificial intelligence) dengan kontrol penuh tim redaksi.