Peneliti BRIN: Waspada Potensi Ancaman Megathrust Selatan Jawa

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Foto: Dok Humas BRIN.

Peneliti BRIN: Waspada Potensi Ancaman Megathrust Selatan Jawa

Atalya Puspa • 27 December 2024 09:52

Jakarta: Peneliti dari Pusat Riset Kebencanaan Geologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Nuraini Rahma Hanifa mengajak kepada seluruh masyarakat untuk lebih waspada terhadap potensi gempa megathrust di wilayah selatan Jawa. Potensi bencana tersebut dapat memicu tsunami seperti yang terjadi di Aceh.

Hal itu disampaikan Rahma dalam rangka mengenang 20 tahun tsunami Aceh. Berdasarkan hasil risetnya, segmen megathrust di selatan Jawa, termasuk Selat Sunda, menyimpan energi tektonik yang signifikan dan berpotensi melepaskan gempa berkekuatan magnitudo 8,7 hingga 9,1. 

“Potensi megathrust ini dapat memicu goncangan gempa yang besar dan tsunami, yang menjalar melalui Selat Sunda hingga ke Jakarta dengan waktu tiba sekitar 2,5 jam,” ungkap Rahma saat dikutip dari Media Indonesia, 27 Desember 2024.

Menurut simulasi yang telah dilakukan BRIN bersama tim peneliti dari berbagai institusi, ketinggian gelombang tsunami diperkirakan dapat mencapai 20 meter di pesisir selatan Jawa, 3–15 meter di Selat Sunda dan sekitar 1,8 meter di pesisir utara Jakarta. Penelitian juga menunjukkan bahwa fenomena serupa pernah terjadi dalam sejarah, seperti tsunami Pangandaran 2006 yang dipicu oleh marine landslide di dekat Nusa Kambangan.

“Energi yang terkunci di zona subduksi selatan Jawa terus bertambah seiring waktu. Jika dilepaskan sekaligus, goncangan akan memicu tsunami tinggi yang bisa berdampak luas, tidak hanya di selatan Jawa tetapi juga di wilayah pesisir lainnya,” ungkap dia.
 

Baca juga: 

Peringatan 20 Tahun Tsunami Aceh: Momentum Refleksi dan Solidaritas Global


BRIN menekankan pentingnya mitigasi melalui pendekatan struktural dan non-struktural. Pendekatan struktural meliputi pembangunan tanggul penahan tsunami, pemecah ombak, serta penataan ruang di kawasan pesisir dengan memperhatikan jarak aman 250 meter dari bibir pantai. 

“Pembangunan hutan pesisir atau vegetasi alami seperti pandan laut dan mangrove juga menjadi solusi berbasis ekosistem untuk meredam energi gelombang tsunami,” sebut dia.

Sementara itu, pendekatan non-struktural melibatkan kesiapsiagaan masyarakat melalui edukasi mitigasi bencana, pelatihan simulasi evakuasi, serta penyediaan jalur dan lokasi evakuasi yang memadai. 

“Kita harus memastikan bahwa masyarakat memiliki pemahaman tentang potensi bahaya tsunami, sistem peringatan dini yang efektif, serta kemampuan merespons dengan cepat,” ujar dia.

Sedangkan Jakarta yang memiliki kepadatan penduduk tinggi dan sedimen tanah yang rentan, diminta melakukan penguatan struktur bangunan (retrofitting). Hal itu harus dilakukan untuk meminimalkan potensi korban jiwa.

Retrofitting sangat penting, terutama untuk bangunan di kawasan padat penduduk, karena goncangan kuat berpotensi menyebabkan kerusakan masif dan korban jiwa,” kata dia.

Sedangkan untuk kawasan industri seperti Cilegon, potensi gempa juga dikhawatirkan dapat memicu kebakaran akibat kebocoran bahan bakar atau bahan kimia di pabrik-pabrik besar. Maka, perlu dilakukan penerapan standar keamanan yang ketat.

Melalui penelitian paleotsunami, BRIN menemukan bahwa gempa megathrust di selatan Jawa memiliki periode ulang sekitar 400–600 tahun. Dia menyampaikan kejadian terakhir diperkirakan pada 1699, energi yang tersimpan saat ini telah mencapai titik kritis. 

“Bencana seperti tsunami Aceh mengajarkan kita bahwa kesiapsiagaan dan mitigasi bencana adalah kunci untuk menyelamatkan nyawa,” tegas dia.

Sebagai upaya mitigasi kebencanaan, BRIN terus bekerja sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), BMKG, dan institusi terkait lainnya untuk memperkuat sistem peringatan dini tsunami. Khususnya di Selat Sunda dan wilayah selatan Jawa. 

“Salah satu upaya yang dilakukan adalah pemasangan sensor deteksi perubahan muka air laut di kawasan rawan tsunami,” imbuh dia.

Menurut Rahma, peringatan 20 tahun tsunami Aceh menjadi momentum untuk meningkatkan kesadaran akan potensi bencana serupa di masa depan. Dengan dukungan riset dan teknologi, BRIN berharap mitigasi bencana dapat dilakukan lebih sistematis dan efektif.

“Kita tidak bisa memprediksi kapan gempa akan terjadi, tetapi kita dapat mempersiapkan diri. Adaptasi, edukasi, dan kolaborasi adalah kunci untuk mengurangi risiko bencana,” ujar dia. 

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Anggi Tondi)