Ilustrasi salah satu ternak sapi di Pasar Hewan Ambarketawang, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman. Medcom.id/ Ahmad Mustaqim
Gunungkidul: Penyakit ternak yang dapat menular kepada manusia, antraks, kembali muncul di Kapanewon Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Terdata seorang warga mendapat perawatan di sebuah rumah sakit karena penyakit tersebut.
Sebelumnya pada 2019 di Kapanewon Karangmojo dan Ponjong ditemukan 12 orang positif dan satu orang meninggal. Kemudian pada 2021, di Desa Hargomulyo, Gedangsari, 7 orang positif tertular antraks. Berlanjut pada 2022, ada 13 orang positif anthrax di Ponjong, sedangkan tahunlalu, di Dusun Jati, Desa Candirejo, Semanu ditemukan 87 orang positif, 18 bergejala dan satu orang meninggal.
Dari Gunungkidul diperoleh keterangan, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan setempat telah mengambil sampel darah ternak yang mati di Dusun Kayoman, Kalurahan Serut, Gunungkidul. Sampel ini segera dikirim ke Balai Besar Veteriner Wates, Kulonprogo untuk diperiksa.
Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Wibawanti Prabandari menjelaskan pihaknya telah mendapat informasi adanya ternak milik penduduk yang mati. "Ternak yang mati ini kemudian disembelih. Meski tidak dikonsumsi," katanya.
Selain sapi, pada pekan lalu juga dilaporkan seekor kambing milik warga mati, dan hari berikutnya ada lagi kambing yang mati. Penyebabnya, diduga karena antraks. Kambing yang mati selanjutnya dibawa oleh seseorang dan disembelih.
"Dagingnya dikonsumsi," ucap dia.
Pemilik kambing, S, saat ini masih dalam perawatan di rumah sakit. "Namun kondisi kesehatannnya seperti apa, kami tidak berwenang menjelaskan, karena bukan ranah kami," ujarnya.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan UGM Profesor Agnesia Endang Tri Hastuti Wahyuni mengatakan munculnya kembali kasus antraks (anthrax) ini disebabkan oleh spora dari Bacillus anthracis.
Spora tersebut dapat dengan mudah menyebar ketika hewan yang terkena antraks itu disembelih. Sebab, katanya, spora yang dihasilkan oleh bakteri antraks ini sulit hilang dan bisa bertahan di tanah hingga puluhan tahun.
"Di tubuh hewan saat hidup, spora ini belum terbentuk. Namun saat disembelih dan bakteri yang ada dalam darah itu keluar lalu berinteraksi dengan udara akan membentuk spora," kata Profesor Agnesia, Minggu, 10 Maret 2024.
Dikatakan, spora bisa terbentuk jika bakteri Bacillus anthracis terpapar oksigen karenanya spora tidak pernah dijumpai dalam tubuh penderita atau dalam bangkai yang tidak diseksi atau dibuka. Namun demikian, katanya lagi penyakit antraks ini menurut Aeth, sapaan akrab Profesor Agnesia, selain dapat menjangkit hewan ternak lainnya juga menular ke manusia.
Karenanya, pakar Mikrobiologi tersebut menyarankan agar hewan yang terserang antraks maupun lokasi yang menjadi sumber antraks harus diisolasi dengan tidak boleh ada satu pun lalu lintas ternak yang keluar masuk lokasi.
"Tidak boleh juga sembarang orang keluar masuk di wilayah tersebut dan hanya petugas yang sudah ditetapkan," ujarnya.
Selain melakukan isolasi, para peternak perlu meningkatkan biosekuriti dan melakukan pengobatan pada hewan yang sakit serta memberi tambahan suplemen. Menurut dia, hewan yang terjangkit bakteri antraks bisa diobati.
Bakteri ini mudah mati jika diberi antibiotik, antiseptik, desinfektan dan mati pada suhu diatas 54 derajat celsius selama 30 menit. Sementara untuk hewan yang sehat diharuskan sebaiknya diberi vaksin dua kali selama setahun.
Sementara pengajar Fakultas Peternakan UGM, Nanung Danar Dono, mengatakan untuk mencegah agar kasus ini muncul sebaiknya peternak tidak memotong hewan yang sakit atau mengonsumsi hewan yang sudah menjadi bangkai.
"Daging bangkai tidak boleh dikonsumsi karena hewan yang matinya karena zoonosis bisa menular ke manusia," terang dia.
Nanung meminta agar hewan yang sakit diisolasi untuk diobati terlebih dahulu hingga betul-betul dinyatakan sehat. Namun jika ditemukan ternak hewan yang sudah mati yang ditengarai terkena antraks sebaiknya langsung dikubur atau dikremasi di lokasi.
"Jika tidak ada alat kremasi, maka dikubur saja ditimbun lalu disemen tidak boleh dibongkar selamanya karena spora sangat awet, anti desinfektan sehingga penting adanya literasi dan edukasi agar kasus seperti ini tidak terulang kembali," ungkapnya.
Disamping itu, ia menyaran agar hewan yang mati tidak dipindah ke tempat lain sebab jika hewan mati tersebut mengeluarkan darah maka tercecer dan menyebarkan spora di sepanjang jalan.
"Jika dipindah besar kemungkinan spora tercercer ke mana-mana," pungkasnya.