Jakarta: Direktur Eksekutif Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia Yose Rizal Damuri mengatakan, biaya utang Indonesia saat ini terlampau besar.
Jika besaran utang ditambah secara serampangan, perekonomian dikhawatirkan akan tertekan signifikan.
"Saat ini, biaya utang kita sekitar tujuh persen, dan itu cukup tinggi. Utang kita berbiaya tinggi, dan itu tidak baik untuk perekonomian," ujar dia dilansir Media Indonesia, Jumat, 12 Juli 2024.
Biaya utang tujuh persen itu diambil dari besaran imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) yang berada di kisaran tujuh persen.
Dengan kata lain, penambahan utang yang dilakukan pemerintah melalui SBN harus dibayarkan berikut dengan bunga yang dijanjikan sekitar tujuh persen.
Biaya utang negara lain bisa sampai 0%
Sementara banyak negara yang biaya utangnya jauh di bawah lima persen, atau bahkan nyaris nol persen seperti Jepang.
Dengan biaya utang yang rendah itu, kata Yose, tak akan menjadi masalah besar bila negara terkait memiliki rasio utang yang tinggi.
"Kalau utangnya sampai 100 persen (dari PDB) pun seperti Jepang, biaya bunga mereka itu hampir nol persen, jauh di bawah satu persen. Sedangkan kita tujuh persen. Jadi permasalahannya bukan level utangnya, tapi berapa besar biaya yang kita keluarkan untuk utang itu," jelas Yose.
Dia menambahkan rasio utang juga semestinya bukan sesuatu yang dijadikan target oleh pemerintah. Wacana kenaikan rasio utang menjadi 50 persen terhadap PDB dinilai seolah menjadi target.
Padahal pengadaan utang itu dilakukan berdasarkan kebutuhan, bukan masalah target yang harus dicapai.
"Karena kalau tidak ada kebutuhan untuk menaikan utang, dan itu kemudian naik berkisar 42-43 persen terhadap PDB, kenapa tidak? Kenapa harus dipaksakan sampai 50 persen?" tutur Yose.
Narasi kenaikan rasio utang menjadi 50 persen secara otomatis akan memengaruhi defisit anggaran menjadi lebih tinggi. Jangan sampai, pelebaran defisit anggaran justru dimanfaatkan untuk membayar utang yang jatuh tempo.