Ketua Gabungan Pengusaha Eksportir Indonesia (GPEI), Benny Soetrisno dalam Forum 1 Tahun Prabowo–Gibran: Optimism on 8% Economic Growth. Foto: Metrotvnews.com/Duta.
Muhammad Reyhansyah • 16 October 2025 13:13
Jakarta: Ketua Gabungan Pengusaha Eksportir Indonesia (GPEI), Benny Soetrisno, menekankan pentingnya strategi nasional yang lebih menyeluruh dalam memperkuat ekspor Indonesia. Penguatan tidak hanya pada komoditas barang, tetapi juga sektor jasa yang selama ini kurang diperhatikan.
Benny mengatakan, penguatan ekspor harus dibarengi dengan kolaborasi logistik, kehati-hatian dalam impor, dan keberpihakan nyata terhadap potensi maritim Indonesia. Menurut dia, strategi pemilihan komoditas ekspor perlu didasarkan pada kekuatan alami Indonesia serta kebutuhan pasar global.
“Kalau kopi sudah banyak, ya mungkin merica. Merica itu hampir seluruh dunia pasti makan, walaupun sedikit banyak itulah perputarannya. Tapi yang produksi merica itu tidak semua negara produksi merica,” kata Benny dalam forum bertajuk 1 Tahun Prabowo–Gibran: Optimism on 8% Economic Growth di JS Luwansa Hotel & Convention Center, Jakarta, Kamis, 16 Oktober 2025.
Ia mencontohkan, produk seperti kayu manis menjadi bukti pentingnya fokus pada komoditas yang khas dan memiliki permintaan global yang stabil. “Kayu manis itu juga hanya empat sampai lima negara yang punya. Semua toko kue di Eropa pasti butuh kayu manis. Nah seperti-seperti itu, kita harus memilih dan harus ada kolaborasi,” ungkap Benny.
Benny menyoroti pentingnya dukungan sektor logistik dalam memperkuat ekspor. Menurutnya, maskapai nasional seperti Garuda Indonesia dapat memainkan peran strategis dengan tidak berorientasi pada keuntungan dalam pengangkutan komoditas unggulan.
“Bumbu itu diangkut oleh Garuda yang ke Eropa, itu seharusnya Garuda tidak usah ambil untung dong,
at cost saja. Nah ini mungkin peran pemerintah di sini,” ungkap Benny.
Benny juga menyoroti kelemahan pengawasan dalam proses impor bahan baku yang dapat menimbulkan dampak negatif. Contoh, polemik ekspor Indonesia yang terpapar logam dan radioaktif.
"Itu ada di bahan bakunya logam waktu itu, ya mungkin mengimpor dentong, dentong ini pakai
waste-nya radioaktif. Nah dentong-nya itu diproses jadi bahan bakunya logam, nah di situ mungkin penyebarannya terjadi. Jadi memang kita belum memperhatikan kehati-hatian kita dalam mengimpor,” sebut Benny.
Ilustrasi ekspor. Foto: Medcom.id.
Benny mendorong lembaga seperti Badan Karantina dan BPOM untuk meningkatkan pengawasan terhadap barang impor yang berisiko. Ia juga mengingatkan bahwa sektor perikanan Indonesia memiliki potensi besar, namun belum dikelola optimal karena kendala distribusi dan logistik.
“Teman-teman kita di timur yang punya ikan, yang punya udang, yang punya kepiting, itu belum ada transport membawa ke luar ya, kita semuanya harusnya ke Jawa,” ujar Benny.
Benny mengungkapkan, revitalisasi jalur penerbangan ekspor seperti rute Garuda di masa lalu penting untuk menghubungkan daerah timur dengan pasar luar negeri. “Dulu Garuda waktu ke Amerika kan Jakarta, Biak-Biak, Hawaii-Hawaii, LA. Nah sekarang udah enggak ada itu. Nah seperti ini harus ada kerja sama dengan
airline yang lain, airline dari luar ya,” ujarnya.
Kerja Sama Penerbangan Lintas Negara
Benny juga menyoroti pentingnya kerja sama penerbangan lintas negara di kawasan Asia dan Pasifik. “Kalau sudah jalan Open Sky ASEAN kan bisa diajak kerja sama
airline dari negara-negara ASEAN. Mungkin dengan
airline-nya Australia untuk teman-teman di daerah timur,” kata Benny.
Ia menilai, laut merupakan aset strategis Indonesia yang belum dimanfaatkan secara maksimal. "Karena ada barang hidup di situ, yang selalu populasinya jalan terus,” ungkap Benny.
Dalam
closing statement-nya, Benny memperluas pembahasan dengan menyoroti lemahnya perhatian pemerintah terhadap sektor jasa. Menurutnya, ekspor jasa termasuk logistik laut, asuransi, dan keuangan merupakan bagian penting dari neraca perdagangan nasional yang selama ini luput dari perhatian.
“Kita selalu bicara ekspor-impor itu hanya dengan komoditi, kita memang surplus. Kita belum pernah bicara ekspor-impor jasa karena jasa kita terlalu banyak menggunakan jasa di luar,” sebut Benny.
Ia menjelaskan bahwa data Badan Pusat Statistik (BPS) selama ini belum menggambarkan kondisi sesungguhnya dari perdagangan jasa nasional. “BPS tidak pernah itu mengungkapkan berapa sih trade balance ekspor-impor jasa kita. Sehingga kita dengan tenang-tenang saja karena komoditinya selalu surplus,” ujar Benny.
Menurutnya, ketergantungan pada jasa asing, khususnya dalam sektor pelayaran, harus segera diatasi. “Karena angkutan laut walaupun kita sudah punya
privilege, kalau diperhatikan di Rusia itu
privilege Indonesia, tapi yang
ngangkut akhirnya kapal-kapal dari luar juga,” kata Benny.
Ia berharap pemerintah dapat membangun industri jasa yang kuat dan berdaulat, agar ekonomi nasional tidak hanya bergantung pada ekspor komoditas mentah. “Harapan saya untuk ekspor-impor itu tidak hanya komoditi ya, kita harus bangun jasa. Karena di situlah nilai tambah dan daya tahan ekonomi kita sebenarnya berada,” pungkas Benny.