Penelitian: Polusi Udara Berpotensi Sebabkan Peningkatan Risiko Demensia

Ilustrasi polusi udara. Dok Medcom.id

Penelitian: Polusi Udara Berpotensi Sebabkan Peningkatan Risiko Demensia

M. Iqbal Al Machmudi • 7 September 2025 14:18

Jakarta: Para ilmuwan dari Johns Hopkins Medicine menemukan bahwa polusi udara ternyata dapat memicu pembentukan galur unik gumpalan protein alpha-synuclein (aSyn) pada tikus. Mirip dengan yang ditemukan pada Demensia Lewy Body (DLB).

Temuan ini menambah bukti yang berkembang yang menunjukkan bagaimana faktor lingkungan dapat memicu perubahan protein berbahaya di otak yang menyebabkan neurodegenerasi.

Penyakit Demensia Lewy Body adalah gangguan neurodegeneratif yang ditandai oleh penumpukan protein alfa-sinuklein yang abnormal di dalam otak. Gumpalan ini, yang dikenal sebagai Lewy Body, merupakan ciri khas penyakit parkinson dan DLB.

"Penelitian ini, yang diterbitkan di Science pada tanggal 4 September, berdasarkan penelitian selama satu dekade yang menghubungkan paparan polusi udara partikulat halus (PM 2.5 ) atau partikel kecil dari aktivitas industri, pembakaran perumahan, kebakaran hutan, dan gas buang kendaraan dengan risiko lebih tinggi terkena penyakit ini," kata kata associate professor of neurology at the Johns Hopkins University School of Medicine and a member of the Johns Hopkins Institute for Cell Engineering, Xiaobo Mao dikutip dari Hopkinsmedicine, Minggu, 7 September 2025.

Penelitian ini dimulai dengan analisis data rumah sakit dari 56,5 juta pasien di AS yang dirawat antara tahun 2000 dan 2014 dengan penyakit neurodegeneratif. Para ilmuwan menemukan bahwa setiap peningkatan rentang interkuartil konsentrasi PM 2.5 di area asalnya mengakibatkan risiko demensia penyakit parkinson 17 persen lebih tinggi dan risiko demensia dengan DLB 12 persen lebih tinggi.
 

Baca juga: Kali Pertama, Paru-Paru Babi Rekayasa Genetik Ditanamkan ke Manusia

Paparan PM 2.5 pada tikus memicu pembentukan gumpalan alfa-sinuklein abnormal. Gumpalan protein toksik ini memiliki kesamaan struktur dan ciri-ciri terkait penyakit yang ditemukan pada otak pasien DLB.

"Kami telah mengidentifikasi galur baru badan Lewy yang terbentuk setelah terpapar polusi udara," ujar Mao. 

"Dengan mengidentifikasi galur ini, kami berharap dapat menetapkan target spesifik untuk obat-obatan di masa mendatang yang bertujuan memperlambat perkembangan penyakit neurodegeneratif yang ditandai oleh badan Lewy," tambah Mao.

Tim peneliti memaparkan tikus normal dan tikus hasil rekayasa genetika yang kekurangan protein alfa-sinuklein terhadap polusi PM 2.5 setiap dua hari sekali selama jangka waktu 10 bulan. Ini dilakukan guna menyelidiki alasan biologis di balik hubungan antara paparan PM 2.5 dan DLB.

"Pada tikus normal, kami mengamati atrofi otak, kematian sel, dan penurunan kognitif, gejala yang mirip dengan DLB," kata kolaborator sekaligus the Leonard and Madlyn Abramson Professor Neurodegenerative Diseases and director of the Institute for Cell Engineering, Ted Dawson.

Para peneliti kemudian mempelajari tikus dengan mutasi gen manusia (hA53T) yang terkait dengan penyakit Parkinson dini. Setelah lima bulan terpapar PM2.5, tikus-tikus ini mengembangkan kantong alfa-sinuklein yang tersebar luas dan mengalami penurunan kognitif. 

"Berdasarkan pengamatan melalui analisis biofisika dan biokimia, gumpalan protein ini secara struktural berbeda dari gumpalan yang terbentuk selama penuaan alami," ujar Dawson.

Para peneliti juga berupaya menentukan apakah dampak polusi udara bervariasi berdasarkan lokasi. Mereka menemukan bahwa tikus yang terpapar sampel PM2.5 terpisah dari Tiongkok, Eropa, dan Amerika Serikat menyebabkan perubahan otak yang serupa dan pembentukan kantong alfa-sinuklein. 

Hal ini menunjukkan bahwa polusi tidak hanya memicu penumpukan protein beracun, tetapi juga mendorong perubahan ekspresi gen terkait penyakit di otak manusia

"Kami yakin telah mengidentifikasi hubungan molekuler inti antara paparan PM 2.5 dan penyebaran demensia badan Lewy," pungkas Dawson.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Arga Sumantri)