Indomie Rasa Soto Banjar Limau Kulit yang dikeluhkan otoritas pangan Taiwan karena mengandung residu EtO sebesar 0,1 mg/kg. Foto: Panduaji.net
Jakarta: Beberapa waktu terakhir, ramai pemberitaan temuan residu pestisida ethylene oxide pada produk mi instan merek Indomie Rasa Soto Banjar Limau Kulit yang beredar di Taiwan. Temuan ini memicu perhatian luas karena menyangkut standar keamanan pangan dan kelayakan produk yang diimpor dari Indonesia.
Kasus ini muncul setelah otoritas pangan Taiwan, Taiwan Food and Drug Administration (TFDA), mengumumkan hasil pengujian yang menyatakan produk tersebut mengandung residu pestisida di atas batas yang diizinkan menurut regulasi mereka.
Kronologi temuan di Taiwan
Pada Selasa, 9 September 2025, TFDA melalui laman resminya mengumumkan produk mi instan Indomie Rasa Soto Banjar Limau Kulit, produksi PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk, dinyatakan tidak memenuhi ketentuan keamanan pangan di Taiwan karena mengandung residu
ethylene oxide (EtO) sebesar 0,1 mg/kg.
Berdasarkan peraturan di Taiwan,
ethylene oxide tidak boleh terdeteksi atau harus berada di bawah batas kuantifikasi 0,1 mg/kg. Karena itu, TFDA memutuskan produk yang tidak sesuai akan dikembalikan atau dimusnahkan sesuai ketentuan setempat.
"Perbedaan standar keamanan pangan antarnegara, termasuk terkait residu EtO, menjadi faktor yang mendasari perbedaan penilaian terhadap produk. Sebagai catatan, hingga saat ini, Codex Alimentarius Commission (CAC) di bawah WHO/FAO belum menetapkan batas maksimal residu EtO," kata Direktur Jenderal Perkembangan Ekspor Nasional (PEN)
Kemendag Fajarini Puntodewi, Minggu, 14 September 2025.
"Standar yang berlaku di berbagai negara pun berbeda, misalnya, Uni Eropa menerapkan batas 0,1 ppm, Amerika Serikat 7 ppm, dan Singapura hingga 50 ppm untuk rempah-rempah," sambung Fajarini.
Perbedaan standar ini, jelas dia, perlu dipahami bersama, sekaligus menjadi tantangan bagi pelaku usaha dalam menyesuaikan produk dengan regulasi pasar tujuan. Pasalnya, Taiwan dikenal memiliki standar keamanan pangan yang sangat tinggi, termasuk untuk kategori mi instan.
Berdasarkan informasi perwakilan perdagangan RI di Taipei, standar keamanan pangan Taiwan bahkan relatif lebih ketat dibandingkan dengan standar yang berlaku di Amerika Serikat maupun Kanada. Penetapan standar yang tinggi tersebut merupakan kewenangan penuh otoritas Taiwan dan merupakan bagian dari upaya mereka melindungi kesehatan konsumen di dalam negeri.
"Pemerintah Indonesia menghormati sepenuhnya regulasi tersebut, dan pada saat yang sama akan terus mendorong serta mendampingi para produsen agar mampu menyesuaikan produk dengan ketentuan yang berlaku di negara mitra," terang Fajarini.
(Kantor Kemendag. Foto: dok Istimewa)
Tindak lanjut koordinasi
Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) di Taipei telah berkoordinasi dengan perusahaan produsen, dan dapat dikonfirmasi seluruh produk mi instan Indofood diproduksi sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI), standar Codex untuk mi instan, serta di fasilitas yang tersertifikasi ISO 22000/FSSC 22000.
Indofood juga menegaskan produknya telah dipasarkan ke lebih dari 100 negara selama lebih dari 30 tahun, dengan selalu menyesuaikan standar keamanan pangan di negara tujuan. Selain itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) RI juga telah terlibat langsung dalam penanganan isu ini dan akan menyampaikan penjelasan resmi kepada otoritas Taiwan, disertai hasil uji laboratorium yang relevan dari perusahaan produsen.
Pemerintah Indonesia, lanjut dia, menegaskan komitmennya untuk menjaga agar seluruh produk
ekspor, termasuk mi instan, memenuhi standar keamanan pangan internasional dan ketentuan negara tujuan.
Temuan di Taiwan ini menjadi pengingat penting bagi pelaku usaha untuk lebih cermat memahami perbedaan standar teknis antarnegara. Dalam jangka pendek, memang dapat terjadi pengawasan yang lebih ketat dari otoritas negara tujuan maupun kehati-hatian dari sebagian konsumen.
"Namun, pemerintah, khususnya kami di Kementerian Perdagangan, memandang penyesuaian terhadap standar yang lebih tinggi justru akan memperkuat daya saing produk Indonesia di jangka menengah dan panjang," tutur Fajarini.
Sejalan dengan itu, pemerintah akan terus hadir mendampingi, memfasilitasi, dan membina eksportir agar reputasi produk Indonesia tetap terjaga di pasar global. Fajarini menilai, upaya penyesuaian ini bukan hanya untuk memenuhi kewajiban teknis, tetapi juga untuk menunjukkan Indonesia menghormati regulasi mitra dagang dan siap berkolaborasi menjaga kepercayaan konsumen.
"Dengan sinergi pemerintah, perusahaan, dan pembeli di negara mitra, kami yakin reputasi serta keberlanjutan ekspor mi instan Indonesia akan tetap terjaga dan bahkan semakin kuat," tegas Fajarini.