Podium: Biarkan Kaus Berbicara

Dewan Redaksi Media Group Ahmad Punto. MI/Ebet

Podium: Biarkan Kaus Berbicara

Media Indonesia • 14 March 2025 06:09

BEBERAPA waktu lalu saya tergelitik dengan tulisan di bagian punggung kaus seseorang yang kebetulan saya temui di sebuah minimarket. Saya sedang antre persis di belakang orang itu sehingga mau tidak mau tulisan itu terpampang jelas di depan mata. Bunyinya begini, 'Kabar buruk setiap hari dikirim oleh negara'.

Menarik, bukan? Sedikitnya ada dua hal yang bagi saya menarik untuk ditelaah. Yang pertama bahwa ini menunjukkan eksistensi kaus oblong sebagai medium untuk mengekspresikan pendapat atau alat kampanye terkait dengan sikap seseorang atau kelompok memang masih kuat. Yang kedua, tentu saja, tentang substansi tulisan yang menggambarkan aura keresahan yang amat kuat dari warga negara tentang situasi negaranya.

Mari kita bahas dari yang pertama. Kaus memang sudah sejak lama menjadi media untuk menunjukkan identitas, ekspresi, bahkan ideologi seseorang. Ia tak sekadar bagian dari fesyen dan gaya hidup. Melalui desain, gambar, kata-kata, sampai pilihan warnanya, kaus telah berkembang menjadi penyampai pesan, humor, sekaligus kritik.

"I speak through my cloth," kata filsuf dan novelis Italia, Umberto Eco. "Aku berbicara melalui bajuku." Dimensi berbicara lewat baju (kaus), tentu saja, bermacam-macam. Boleh jadi hanya berisi kalimat-kalimat guyon atau humor seperti tren yang puluhan tahun silam pernah diinisiasi produsen kaus Joger di Bali dan Dagadu di Yogyakarta.

Bisa pula bahasa humor digabung dengan pesan moral. Contohnya, saya pernah membaca kaus bertuliskan 'Kata Mama, jangan ngobat kalo ga sakit'. Pesan dari kalimat itu tentu ingin mengajak orang agar menjauhi atau tidak menggunakan narkoba. Namun, kalimatnya dibikin ringan dan berbau humor biar menarik buat kalangan anak muda.

Dalam tingkatan yang lebih tinggi, kaus juga bisa berbicara dengan bahasa dan kalimat kritik, dari yang bernada sindiran halus, sarkas, hingga yang to the point alias tanpa tedeng aling-aling. Kritiknya pun beragam level, mulai yang lembut sampai yang paling nyelekit sekalipun.

Pada titik itu, kaus tak ubahnya seperti mural di dinding-dinding kota yang sangat mangkus sebagai ekspresi kritik sosial. Senyap, tapi menohok. Kaus tidak lagi sekadar menjadi media komunikasi visual atau representasi kebudayaan, tetapi juga bisa menjadi simbol perlawanan sosial. Seperti mural pula, kaus dengan sindiran dan kritiknya pun bisa bikin baper dan senewen penguasa.

Anda mungkin masih ingat kejadian pada Agustus 2021 silam, ketika Riswan, desainer kaus di Tuban, Jawa Timur, sempat berurusan dengan polisi gara-gara mengunggah kaus dagangan di akun Twitter (sekarang X) bergambar atau bertuliskan '404:Not Found'. Ketika itu, tulisan tersebut dinilai menyindir Presiden Joko Widodo. Riswan akhirnya dianggap melecehkan simbol negara dan dihukum meminta maaf kepada publik. Ada-ada saja.

Oke, sekarang kita kupas hal kedua, yaitu soal substansi dari kalimat 'Kabar buruk setiap hari dikirim oleh negara'. Secara riil apakah memang sudah sebegitu banyaknya negeri ini dijejali kabar buruk? Saya sebetulnya pengin mengatakan tidak, tetapi makin ke sini, apa yang tertulis di kaus itu rasanya justru makin mendekati fakta. Meskipun tidak datang setiap hari, kabar buruk dari negara betul-betul akrab dengan kita beberapa waktu terakhir ini.

Sebut saja mau mulai dari mana? Soal korupsi, misalnya, nyaris tak ada kabar baik. Yang ada justru berita-berita 'mengerikan' tentang kian murahnya integritas para pejabat pemerintah dan BUMN. Juga tentang makin entengnya mereka mengembat uang negara yang notabene berasal dari rakyat. Satuannya tak lagi juta atau miliar, tapi triliun. Bahkan kini makin banyak korupsi dengan nilai kerugian sampai ratusan triliun.
 

Baca Juga: 

Presiden Prabowo Pastikan Persoalan Penundaan CPNS Sedang Diurus


Soal tata kelola pemerintahan pun sama, isinya lebih banyak kabar buruk ketimbang kabar baik. Ada ketimpangan yang masih menganga antara kebijakan pemerintah dan kebutuhan masyarakat. Ada gap yang terlampau jauh antara das sollen (yang seharusnya) dan das sein (yang nyata, yang terjadi). Pemerintah dan rakyatnya enggak nyambung, bukankah itu kabar buruk?

Dalam konteks itu, kebijakan distribusi elpiji yang amburadul beberapa waktu lalu pasti akan selalu menjadi contoh ketidakbecusan tata kelola pemerintahan. Minimal dalam hal komunikasi. Amsal terbaru ialah polemik penundaan pengangkatan calon aparatur sipil negara (CASN) yang menimbulkan ketidakpastian dan menyebabkan keresahan luar biasa buat para CASN.

Pada saat yang bersamaan, justru ada kementerian, yang menterinya merupakan kader PSI, dengan seenaknya dan tanpa malu-malu memasukkan teman-temannya di partai ke tim Operation Management Office Indonesia’s Forestry and Other Land Use Net Sink 2030. Nepotisme sudah demikian telanjang. Apakah seperti itu kabar baik buat rakyat dari negara? Tentu tidak. Sekali lagi, tulisan di kaus itu tidak salah.

Sektor ekonomi juga penuh dengan kabar buruk. Terlebih ketika ribuan buruh PT Sritex mesti menerima pemutusan hubungan kerja (PHK) karena perusahaannya pailit. Kabar buruk itu akan berlanjut kalau pemerintah tak segera mengambil kebijakan tepat untuk mencegah hal yang sama merembet ke pabrik-pabrik lain, bahkan ke sektor industri yang lain.

Itu semua bukti bahwa keresahan publik yang ditumpahkan lewat kaus itu sesungguhnya tulus. Mereka tak punya 'speaker' yang gelegarnya bisa menjangkau penguasa maka jalan satu-satunya agar suara mereka didengar ialah menuangkannya dalam kalimat di kaus mereka.

Jadi, biarkanlah kaus berbicara. Negara seharusnya dengan senang hati membacanya, tak perlu baper, tak usah alergi.

(Dewan Redaksi Media Group Ahmad Punto)

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Achmad Zulfikar Fazli)