Gim Online Dibatasi Imbas Ledakan SMAN 72 Jakut, Benarkah Ada Hubungannya?

Ilustrasi: Freepik

Gim Online Dibatasi Imbas Ledakan SMAN 72 Jakut, Benarkah Ada Hubungannya?

Riza Aslam Khaeron • 11 November 2025 16:02

Jakarta: Insiden ledakan yang mengguncang SMA 72 Jakarta Utara pada Jumat lalu telah memicu kekhawatiran nasional, tak hanya karena dampaknya terhadap siswa, tetapi juga karena spekulasi yang berkembang mengenai latar belakang pelaku.

Di tengah penyelidikan yang masih berlangsung, Presiden RI Prabowo Subianto menyoroti dua hal yang dinilainya patut diwaspadai: pengaruh game online dan perundungan di lingkungan sekolah.

Dalam rapat terbatas yang digelar di kediamannya di Jalan Kertanegara IV, Jakarta Selatan, Presiden Prabowo menyampaikan keprihatinan terhadap meningkatnya paparan kekerasan digital di kalangan pelajar.

Ia meminta pihak sekolah dan pemerintah untuk memikirkan langkah-langkah pembatasan dan pengawasan terhadap game online yang mengandung unsur kekerasan. Salah satu game yang disebut dalam pernyataan Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi adalah PUBG.

“Jadi perlu ada pembatasan. Di situ jenis-jenis senjata mudah sekali dipelajari, dan ini bisa lebih berbahaya. Secara psikologis, mereka yang terbiasa melakukan kekerasan (di dalam game) bisa menganggap hal itu sebagai sesuatu yang biasa,” sebut Prasetyo.

Isu ini kini menjadi fokus pembahasan nasional, menimbulkan pertanyaan besar: benarkah video game bisa menyebabkan kekerasan di dunia nyata?
 

Video Game Kekerasan Tingkatkan Agresi, Bukan Kekerasan Kriminal

Sebuah laporan penting dari American Psychological Association (APA) tahun 2015 menyatakan bahwa bermain video game yang mengandung kekerasan memang dapat meningkatkan perilaku agresif, namun tidak terdapat bukti kuat bahwa hal ini menyebabkan kekerasan kriminal di dunia nyata.

“Penelitian menunjukkan adanya hubungan yang konsisten antara penggunaan video game kekerasan dan peningkatan perilaku agresif, pemikiran agresif, dan perasaan agresif, serta penurunan perilaku prososial, empati, dan kepekaan terhadap kekerasan,” tulis laporan APA Task Force on Violent Media.

Ketua Task Force, Dr. Mark Appelbaum, memperjelas bahwa meskipun hubungan antara game dan agresi cukup mapan, hal ini berbeda dengan tindakan kriminal, yang tidak ditemukan hubungan apapun dengan video game.

“Para ilmuwan telah meneliti penggunaan video game kekerasan selama lebih dari dua dekade, namun hingga kini hanya terdapat sangat sedikit penelitian yang membuktikan bahwa video game kekerasan menyebabkan seseorang melakukan kekerasan kriminal,” ujar Appelbaum.

Laporan ini menegaskan bahwa tidak ada satu pun faktor risiko yang secara konsisten menyebabkan seseorang menjadi agresif atau melakukan kekerasan. Yang terjadi justru adalah akumulasi dari berbagai faktor risiko, seperti gangguan kejiwaan, pengaruh lingkungan, atau riwayat kekerasan.


Terduga senjata api yang ditemukan di lokasi ledakan di SMAN 72/Istimewa

Dalam konteks ini, penggunaan video game kekerasan hanya salah satu dari banyak elemen yang mungkin berperan.

“Bukan satu faktor tunggal yang menyebabkan seseorang bertindak agresif atau melakukan kekerasan, melainkan akumulasi faktor-faktor risiko tersebut. Penggunaan video game kekerasan adalah salah satu dari faktor tersebut,” bunyi laporan tersebut.
 
Baca Juga:
Wacana Pembatasan Gim Online Dapat Respons Positif

Sementara itu, pada 2020, APA kembali menegaskan bahwa kesimpulan mereka tetap sama: game kekerasan memang berhubungan dengan agresi ringan, seperti teriakan atau dorongan, tetapi tidak cukup bukti ilmiah yang menghubungkannya dengan perilaku kekerasan berat, termasuk penembakan atau penyerangan massal.

“Kekerasan adalah masalah sosial yang kompleks dan kemungkinan besar berasal dari banyak faktor yang memerlukan perhatian dari peneliti, pembuat kebijakan, dan publik. Menyalahkan video game sebagai penyebab kekerasan tidaklah ilmiah dan justru mengalihkan perhatian dari faktor lain yang jauh lebih terbukti, seperti riwayat kekerasan dalam kehidupan seseorang,” ucap Presiden APA saat itu, Dr. Sandra L. Shullman.

Dengan demikian, meski video game kekerasan bisa memengaruhi emosi dan perilaku jangka pendek, menyimpulkan bahwa game adalah penyebab langsung kekerasan nyata adalah klaim yang tidak berdasar secara ilmiah.

Penelitian lebih lanjut tetap diperlukan, terutama pada kelompok berisiko tinggi seperti anak-anak dengan latar belakang depresi atau perilaku menyimpang.

Dalam konteks kebijakan, pengawasan orang tua, literasi digital, dan sistem rating game yang transparan tetap menjadi langkah strategis yang lebih tepat dibanding pelarangan total tanpa dasar riset yang kuat.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Arga Sumantri)